Lihat ke Halaman Asli

Tentang Pahlawan

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika Otong bertanya kepada guru sejarah di kelas tentang pahlawan. Ia mendapat jawaban jenderal Soedirman, Diponegoro, bahkan Soeharto. Teman sekelasnya, sering mengajak Otong bermain perang-perangan, meniru komik yang ada di perpustakaan, tentang kepahlawanan Soeharto dalam peristiwa 11 maret. Teman-teman Otong bangga, ketika di lehernya di kalungi janur kuning. Otong dan teman-temannya menganggap, bahwa pahlawan itu identik dengan senjata. Selain itu, setiap kali memperingati hari kemerdekaan, pintu gerbang menuju kampungnya, selalu ada replika pahlawan sedang mengacungkan senjata. Otong telah menemukan pahlawan dalam hidupnya. Setelah dewasa, ia pun menyaksikan para pejabat yang di kubur di makam Pahlawan, ada tembakan salvo…lagi-lagi senjata.

Ketenangan Otong terusik, ketika ia ngobrol dengan Bapaknya di depan tungku. Bapaknya membantah pendapat Otong.” Soeharto itu bukan Pahlawan Tong….! Dia presiden, Presiden beda dengan Pahlawan”. Tutur Bapaknya Otong. Kebetulan, Bapaknya itu juga mantan pengurus partai islam di kampungnya. Walau masih kecil, Otong tahu betul, jika Bapaknya dulu sering di bawa ke kantor koramil. Untuk urusan apa, Otong tak tahu, yang dia ingat, bapaknya sering berurusan dengan aparat ketika menjelang pemilu.

Setelah berkeluarga, Otong bekerja sebagai buruh tani. Kenangan mencangkul sawah milik Bapaknya semasa ia remaja masih terbayang. Kini sawah yang dulu ia kagumi menjadi kawasan Agro Bisnis milik Mayjen TNI Sujarot. Ia bersenjata ! meski lelah, Otong bangga, ia bekerja kepada seorang pahlawan. Ia pun kagum kepada Bapaknya, yang telah merelakan tanahnya di jual dengan harga murah kepada patriot semacam Pak Sujarot.

.“ Sawah itu tak pernah Bapak Jual Tong…! Sujarot itu maksa bapak, ia pake preman agar sawah itu di serahkan. Sawah itu untuk masa depan kamu dan anak-anakmu. Sawah warisan satu-satunya dari Almarhum kakekmu. Bapak gagal mempertahankannya untukmu Tong”. Ujar bapaknya parau, ketika tubuhnya terbaring lemas di atas ranjang karena sakit.

Kawasan AgrobisnisPak Sujarot semakin luas. Sawah teman-temannya Otong pun satu persatu mulai di jual. Pak Sujarot hampir memiliki seluruh pesawahan di kampungnya. “ Kita menjadi kuli di tanah sendiri Tong ! keluh Sumardi, kawan semasa kecilnya, yang sering membantu menggembalakan kerbau bapaknya. Otong baru mendengar Sumardi mengeluh, biasanya, temannya yang pendiam itu. Selalu membanggakan padi yang di tanamnya. Atau membanggakan pematangnya yang selalu ia bersesihkan dari rumput liar. Sawahnya Sumardi, adalah sawah terakhir yang di jual. Padahal sebelumnya ia bersikeras untuk tidak menjual sawahnya. Entah apa penyebabnya, hingga sawahya melayang pula.

“kita harus berbuat…! Takan kubiarkan ini terjadi, sawah kita di ubah jadi kebun kentang, kemudian di kirim ke luar negeri. Kita tidak makan kentang Tong ! kita makan nasi. Kita tidak memiliki apa-apa lagi selain upah murah dari Pak Sujarot. Nyawa kita tergantung tangannya, bukan tergantung kepada tangan kita lagi”. Tukas Sumardi berapi-api.

Otong menjadi tempat curahan hati Sumardi, selain akrab sejak kecil, Bapaknya Otong sudah menganggap Sumardi sebagai anak sendiri.

“ coba kamu pikir, negara kita sudah lama merdeka, mengapa kita menjadi kuli ? kakek buyutku saja di jaman Kolonial, bisa menjadi kuli. Ga mesti nunggu merdeka dulu…kalau mau jadi kuli dan lebih menderita, lebih baik tidak usah merdeka ! Sumardi meluapkan puncak kekesalannya. “ Hussss ! jangan ngomong gitu Di…! Kualat ! kita harus bersyukur, kita tidak perang lagi.” Otong memperingatkan temannya. “ kata siapa saat ini kita tidak perang, aku di todong Bedil Tong ! agar sawahku di serahkan kepada Sujarwo. Dia itu Belanda hitam….bukan Pahlawan. Bapakmu…mati-matian pertahankan kawasan sawah ini, sampai ia sakit…tapi kamu diam saja !”. Otong terdiam mendengar penjelasan Sumardi. Sejenak ia merenungi kata-kata temannya itu. Upah harian menjaga kebun kentang yang di terimanya hanya sepuluh ribu perak per hari. Di bagi dengan biaya makan, rokok, dan uang jajan kedua anaknya. Otong pun tidak memiliki tabungan, bekal biaya melahirkan istrinya, yang sudah 7 bulan mengandung.

“ Pak….Bapaaaaaaaaaaaaaaak ! “belum sempat ia menyelsaikan renungannya tiba-tiba suara istrinya memanggil dari arah pintu dapur. Otong dan Sumardi kaget, mereka beranjak dari pos ronda di depan rumahnya.” Ada apa Ma, pake teriak-teriak segala ? Tanya Otong, polos.” Bapak… anu ..bapaak di bawa ke polsek”. Jawab istrinya.

Di tahanan polsek dekat kantor kecamatan, nampak bapaknya kelelahan. Sedangkan empat teman lainnya, mukanya babak belur. Sumardi berdiri di belakang Otong. Nampak Otong berbincang perlahan dengan bapak yang di cintainya. Cukup lama mereka berbincang, semakin lama, wajah Otong merah padam.” Selama ini Bapak tidak cerita, karena Bapak takut kamu terlibat terlalu jauh, biarlah Bapak yang menanggung semua ini”. Begitulah kalimat yang mengakhiri perbincangan mereka.

Angin pagi membangunkan rerumputan yang lelap tertidur sepanjang malam. Kicau burung tak berubah, setia menemani pagi. Sinar pagi jatuh dalam kejernihan sungai, sesekali kilau ke-emasan nya menyilaukan pandangan. “ pagi yang sempurna “. Pikir Otong. Namun nasibnya, tak sesempurna pagi itu. Ia lama berdoa di makam Bapaknya, nisan itu ia usap berkali-kali. Ketiga anaknya menatap sedih nisan kakeknya.

Bapaknya meninggal di penjara Polsek, usianya tak mampu menahan pukulan yang di terima tubuh rentanya. Sewaktu bapaknya dalam jeruji, Otong tahu segalanya. Bahwa sawah yang kelak akan di wariskan padanya, tak pernah di beli oleh Sujarwo. Sosok yang ia kenal Pahlawan itu memilki surat kepemilikan sawah itu, dan juga sawah teman-temannya. Bapaknya tak rela, meski ia tak memilki surat dari pemerintah saat ini, ia masih memiliki surat erpacht jaman Belanda. bapaknya berusaha bertahan dan melawan. Mencabut bibit kentang yang di tanam Sujarot.

“kenapa bapak tak ikut upacara di lapangan bola, ini tanggal 17 Agustus Pak ? Tanya anak Otong yang paling cikal. Otong terdiam. “ Nak….upacara di lapangan bola banyak yang bawa senjata, bapak upacara di sini saja, di makam Kakekmu. Karena dia adalah pahlawan bagi Bapak, bagi penduduk kampong ini”.Tukas Otong parau. “ Tapi Kakek tak punya senjata, ia bukan Pahlawan”. Timpal si Cikal.

“ Nak ! di jaman ini, pahlawan bagi bapak adalah mereka yang mengayunkan cangkulnya, mencangkul tanah mereka. Bukan orang yang memegang senjata. Karena senjata tak bisa menumbuhkan padi, tak bisa membuat sawah. Saat ini para pahlawan butuh cangkul dan tanah untuk berjuang….bukan bedil Nak !. pungkas Otong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline