Lihat ke Halaman Asli

Petandang | Cerita Pendek (Cerpen) - Kompasiana

Diperbarui: 10 Desember 2022   23:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku meraih jaket warna hijau hooker's, perpaduan warna prussian blue dan gamboge yang menggantung di dinding kamarku. Sebuah jaket yang barangkali berbahan drill itu kukenakan pada tubuhku. Tidak ada aroma wangi sama sekali. Sengaja tak ku semprotkan parfum kepunyaanku. Sebab sebentar lagi, aroma laut dan udara yang segar akan tercium dari jaket ini. 

Aku bercermin sekali lagi. Riasan tipis di wajahku membuat jerawatku terlihat jelas. Blush on warna merah muda di bawah mataku, eyeshadows warna orange, juga lipstik merah muda yang kukenakan membuat wajahku yang katanya selalu murung itu mulai tersamarkan. Terakhir, kukenakan kacamata, kemudian meraih tas yang tergeletak di atas kasur. 

Aku memasuki sebuah mobil CR-V warna putih yang sudah menungguku sejak tadi. Melaju. Membawaku melepas rindu.

Suara sepatu mendekatiku. Aku menoleh. Seorang pria berkemeja hijau celadon, warna yang cerah dan bersemangat itu menghampiriku. Aku mencium tangannya. Aroma dari kulitnya menyeruak, singgah ke penciumanku. Wangi sekali. 

Ia melingkarkan tangannya di pinggangku. Mengajakku ke suatu tempat. Tidak ada kata-kata rindu sama sekali. Hanya senyum tipis dan mata sipitnya yang ia suguhkan untukku. Aku hanya diam. Diam-diam sibuk menenangkan segala keriuhan di dalam hati. Entah kenapa aku menginginkan kebersamaan yang abadi. Perasaan cemas yang luar biasa akan perpisahan menguasaiku. 

"Kau ingin minum?" suara lembutnya menyapa telingaku. Aku hanya mengangguk. 

Dia kembali dengan sebotol minuman dingin, minuman kesukaanku. Minuman dengan campuran susu dan teh hijau. Aku meneguknya. "Kita mau kemana?" tanyaku.

"Kemana pun yang kau mau," ia kembali tersenyum tipis. Agh, aku suka senyumnya. Aku suka lengkung alisnya. Bulu matanya yang lentik. Aku suka matanya yang makin sipit saat ia tersenyum. Semua yang ada pada dirinya, aku suka.

Aku melepas jaket yang kukenakan. Memberikan kepadanya, dan memintanya untuk mengenakan jaket itu. Kemudian ia bertanya, "Untuk apa?" Aku hanya tersenyum. Sekali lagi ia bertanya, "Untuk apa? Kau saja yang pakai". Aku kembali tersenyum. "Aku ingin wangi tubuhmu untuk bisa kubawa pulang nantinya," terangku malu-malu. 

Angin menyapu wajahnya. Jerawat di wajahnya yang sepertinya sudah bertambah sejak terakhir kali aku bertemu itu membuatku gemas. Lebih gemas lagi ketika kudapati uban di kepalanya tetapi tak boleh dilepas. Makin banyak nanti katanya. Agh, aku ingin tahu segala hal tentang rumahku ini. 

Aku meraih tangannya, menggenggamnya erat. Manik cokelatku melemparkan pandangannya pada hamparan laut lepas. Aku merasakan angin sejuk menyentuh wajahku. Senyumku melebar saat ia membalas genggamanku sama eratnya. "Akan sulit mengatakan cinta pada seseorang yang benar-benar kita cintai," begitu kata ibuku. Saat-saat seperti ini, aku ingin mengatakan bahwa aku cinta. Tapi tidak, aku malah diam saja. Biarlah, biarlah tak perlu kukatakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline