Diplomasi digital merupakan sarana baru dalam sebuah negara maupun aktor non-negara lainnya dalam melakukan negosiasi dengan pihak lawan dalam mencapai kepentingan tertentu. Hal ini juga digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam melakukan diplomasi di era perkembangan teknologi saat ini yang semakin pesat.
Platform media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter mulai dilibatkan sebagai media perantara Amerika Serikat dalam upaya mempromosikan kebijakan dan nilai-nilainya di luar negeri. Media sosial merupakan sarana yang paling efisien dalam melakukan diplomasi. Hal tersebut dikarenakan pihak pemerintah dapat berinteraksi langsung dengan warga negaranya maupun warga negara asing serta juga dapat mengadvokasi sikapnya dari berbagai isu internasional.
Pemerintah AS sangat memanfaatkan kehadirannya media sosial ini sebagai diplomasi publik di era modern ini, Pasalnya Pemerintah AS dapat membangun opini-opini yang dimiliki serta membingkai narasi politik dalam mempengaruhi masyarakat internasional. Sebagai contohnya, AS dapat mempengaruhi masyarakat internasional dengan narasi propaganda-propaganda terhadap negara-negara saingannya, seperti Rusia dan China. Hal ini membuktikan bahwa, peran diplomasi digital sama pentingnya seperti diplomasi tradisional yang dilakukan secara face to face.
Berdasarkan pada Journal of Information Warfare tahun 2019, terdapat laporan tahun 2013-2018 bahwa AS menjadi sasaran foreign influence efforts (FIEs) dengan persentase 38% yang menyerang pemilu AS. Pemilu presiden AS tahun 2016 dan 2018 terdapat banyak pengaruh dari Rusia sebanyak 14 kampanye. Kampanye dari Rusia tersebut bertujuan untuk menyudutkan pihak-pihak institusi utama AS termasuk pemerintah dan media. Selain itu juga, memecah belah politik dan konflik yang terjadi ditengah masyarakat AS, sekaligus memperkuat kampanye dan propaganda yang dapat membahayakan secara geopolitik AS di kancah global.
Bertambahnya keikutsertaan Rusia dalam mencampuri urusan politik AS dan dilakukannya upaya penyelidikan tingkat tinggi terhadap kasus pemilihan presiden AS tahun 2016 oleh Penasehat khusus Mueller, perusahaan sosial media, dan para jurnalis menjadi pusat perhatian dunia mengenai faktor eksternal dapat mempengaruhi manipulasi hasil pemilu AS yang diselenggarakan. Selain itu juga menurunkan citra AS di mata dunia, bahwa proses demokrasi yang berjalan di AS tidak dapat diandalkan. Dampaknya yang terjadi ialah warga AS merasa kesulitan dalam memfilter berita yang beredar mengenai hoax dan yang fakta sesungguhnya.
Maka dari itu, setelah kericuhan terjadi tersebut, dalam memperbaiki citra AS yang semakin baik dibutuhkannya pemulihannya dengan melakukan diplomasi digital melalui sosial media. Soft power tersebut merupakan alat penting dalam mengembalikan citra positif AS, seperti meningkatkan jurnalisme yang independen dan terampil berpikir kritis guna mengidentifikasi kesalahan informasi maupun berita hoax, bekerjasama dengan mitra yang selaras pandangan yang menjunjung nilai demokrasi di era digital, memperketat hukum dan pengawasan terhadap campur tangan pemilu yang akan mendatang dan adanya transparansi dalam kegiatan politik, debat, dan pemungutan data pemilu.
Koordinasi diperlukan di beberapa sektor, seperti perusahaan platform, kampanye politik, regulator negara, dan peneliti independen memiliki peran masing-masing. Adanya kemitraan yang baru dan kolaborasi rutin dapat membantu dalam memastikan respon masyarakat AS dan masyarakat internasional yang terkoordinasi.
Standar federal dan undang-undang negara AS perlu disesuaikan dalam mengatur urusan pemilu. Terdapat trade-off antara peraturan yang fleksibel namun berisiko inkonsisten, dan peraturan yang konsisten namun kaku tanpa melihat situasi tertentu. Dalam membuat peraturan yang efektif tidaklah mudah. Diperlukannya proposianal antara konsistensi dan fleksibilitas.
Selain itu, dalam institut pendidikan juga berperan penting dalam kasus ini. Sekolah merupakan rumah kedua bagi murid dan guru merupakan orang tua pengganti murid ketika di sekolah. Guru sangat penting dalam menyampaikan informasi pada murid. Apabila terdapat kesalahan dalam menyampaikan informasi kepada murid, maka akan membentuk pola pikir individu yang salah.