Lihat ke Halaman Asli

Ali Soegiharto

Menjelang Senja

Tinjauan tentang Ekonomi Rokok dan Gosip Kebijakan Fiskal Pemerintah

Diperbarui: 20 Agustus 2016   17:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rokok

Saya memulai dengan sebuah ketakjuban. "Gosip" harga rokok akan meroket di sekitar Rp. 50.000,- per pak mulai bulan September 2016 menjadi sebuah trending topic di dunia maya khususnya di komunitas konsumen rokok. Namun faktanya saya belum menemukan pernyataan resmi dari Kepala Negara tentang keputusan ini. Paling jauh adalah Dirjen Bea & Cukai sedang mengkaji tentang hal menaikkan cukai dengan tambahan 200%, sehingga harga sebungkus rokok kira-kira di atas Rp.50.000,-

Tentang nilai 50-ribu tadi, membuat saya jadi memperhatikan bungkus rokok, lembar cukai, dan harga rokok itu sendiri. Ada dua obyek pengamatan yang saya ambil yaitu yang berkategori cukai SKM (mungkin singkatan dari Sigaret Kretek Mild) dan SPM (mungkin Sigaret Putih Menthol). Meski saya tidak memahami struktur fiskal dan biaya dari sebungkus rokok. Silahkan perhatikan gambar pita cukai rokok berikut ini.

Pitai Cukai di Bungkus Rokok

Dari gambar tersebut, dapat ditarik kesimpulan dengan agak gegabah bahwa kontribusi perokok terhadap pemasukan negara adalah lebih dari 50% harga yang dibayarkan. Silahkan simpulkan sendiri-sendiri, saya takut di-bully.

Tentunya kebijakan fiskal pemerintah, selain sebagai alat untuk mengendalikan pemasukan negara, juga berefek pada pola konsumsi. Karenanya, dengan kenaikan harga yang harus dibayar mungkin akan mengurangi konsumsi rokok, sehingga penjualan dari produsen rokok akan menurun. Akibatnya, penerimaan negara juga akan terpengaruh. Mungkin kajian Dirjen Bea & Cukai adalah mengamankan pemasukan negara dari sektor ini, sehingga muncul gosip tentang angka kenaikan cukai 200% tersebut sebagai asumsi kompensasi terhadap penurunan pemasukan negara dikarenakan turunnya konsumsi rokok.

Bagaimanapun, pemerintah diuntungkan, karena beberapa hal:

1. Bilamana asumsi kenaikan cukai rokok sebesar 200% itu benar, maka pemasukan negara dari cukai rokok mungkin tidak terpengaruh - meskipun konsumsi rokok menurun.

2. biaya kesehatan yang harus dibayarkan karena tuduhan pengaruh buruk rokok akan menurun, sehingga alokasi anggaran di sektor kesehatan dapat digunakan untuk hal-hal lain yang lebih penting.

Di sisi lain, sang Perokok diuntungkan, karena:

1. Potensi timbulnya penyakit karena rokok mungkin menurun karena konsumsinya menurun. Kecuali ketika pola konsumsi berubah, para perokok sebenarnya telah mengidap sebuah kronik tertentu.

2. Produktifitas perokok mungkin bertambah karena mereka akan lebih sedikit mengalokasikan waktu mereka untuk merokok, dan lebih banyak ke arah hal-hal yang bermanfaat.

Tapi skenario ini saya kembangkan ke sebuah kemungkinan ekstrim: SAKAUW/sakaw (berskala) Nasional. Karena usaha untuk melepas diri dari ketergantungan nikotin akan berefek secara fisiologis dan psikologis. Para perokok yang pernah mencoba berhenti tentu mengerti maksud saya. Meskipun ini adalah fenomena temporer, namun penyebarannya dalam skala nasional menurut saya merupakan sebuah eksperimen sosial yang cukup memiliki resiko. 

Selain itu, karena harga 1-pak rokok naik sekitar 3x lipat - rokok menjadi sebuah komoditas yang cukup berharga. Harga 1-box rokok berisi 10-pak akan mencapai nilai sekitar Rp. 500-ribuan. Kerentanan sosial dapat terjadi dalam bentuk kriminalitas, sebagaimana telah beredarnya berbagai hipotesis dari beberapa pihak. 

Namun perokok adalah manusia - mahluk penyintas dan memiliki kreatifitas. Kebijakan pemerintah ini akan menimbulkan peluang ekonomi selain rokok. Karena pada dasarnya, rokok adalah sistem pengantar nikotin ke dalam tubuh. Fenomena alternatif pilihan untuk utilitas pengantaran nikotin telah dapat dapat kita lihat dengan mulai maraknya penggunaan "rokok elektrik/elektronik" yang dikenal sebagai "vaping." Sebuah proses pengantaran nikotin dalam sistem metabolisme tubuh dengan "aman." Artinya, tidak ada potensi penyakit yang diakibatkan karena tar, klorin, karbon monoksida, dan berbagai substansi beracun lainnya yang umum ada pada rokok. Apakah benar-benar aman? Saya belum menemukan riset yang kredibel untuk memastikan hal ini, sebagaimana belum saya jumpai sesuatu yang kredibel tentang bahaya atau efek negatif vaping. Opsi selain rokok tidak berarti bahwa seseorang akan berhenti mengkonsumsi nikotin.

Lantas siapa yang rugi?

Saya kembali takjub pada retorika yang membesar-besarkan dampak dari penindasan terhadap rokok di bumi pertiwi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline