Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Sirik, Dendam, dan Kepala Puyeng: Proses Kreatif Menyunting Novel KAPV

Diperbarui: 16 Juli 2024   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbagi cerita, berbagi kisah. Gambar: Getty Images-iStockphoto-kitzcorner

Ini harus jadi, Daeng. Tidak boleh gagal. Novel bareng harus terwujud. Apa pun risikonya, bagaimanapun caranya.

Begitu titah Widz Stoops, sahabat Kompasiner sekaligus dedengkot Eskaber, ketika meminta kesediaan saya untuk menjadi kuncen novel keroyokan. Padahal, saat itu saya sedang meriset untuk bahan novel. Meski begitu, saya tetap mengiya.

Dalam rentang dua malam, saya tuntaskan rancang bangun novel bareng itu. Teknis penulisan, bagaimana peserta berpastisipasi, dan perkara pengemasan setelah tiap-tiap peserta merampungkan bagiannya. Singkatnya, tiap-tiap penulis masing-masing akan menganggit satu bab.

Sederhana konsepnya, berat praktiknya.

Waktu berjalan. Berasa singkat dan lengas. Saban lima hari berlalu, satu cerita akan muncul di situs web Secangkir Kopi Bersama. Pada saat yang sama, penulis mengirim naskahnya kepada saya, selaku kuncen, untuk disunting pada akhir kisah.

Awalnya berjalan lancar. Hingga seorang penulis mundur di tengah jalan. Kesibukan dan kepenatan alasannya. Inisiator Widz dan saya menyetujui. Kami ambil jalan tengah. Saya akan mengambil bagian dari penulis yang mundur tersebut.

Beban kuncen bertambah. Bab 1, bab penulis yang mundur, dan bab penutup. Belum lagi, tugas penyuntingan. Oey, semangat!

***

APA kerangka awal novel keroyokan ini?

Cinta segitiga. Dua orang bersahabat karib, sangat akrab sampai-sampai bagai keluarga sendiri, jatuh cinta pada perempuan yang sama. Dua-duanya melamar perempuan yang sama. Sayang sekali, hanya satu peminang yang lamarannya diterima. Alhasil, lelaki yang ditolak pinangannya menanak dendam di dadanya. Ia membunuh sahabatnya sendiri itu di sebuah pojok kota Nikolaiviertel, Berlin, di hadapan anak sahabatnya yang saat itu masih berusia 4 tahun.

Dari situ cerita dibangun. Dari fondasi bernama sirik, yakni harga diri, rasa malu, dan keyakinan hidup masyarakat suku Makassar. Adalah Craen Mark yang merasa nipakasirik (dipermalukan) oleh sahabatnya sendiri. Dan, harga dirinya baru tegak kembali jikalau ia sudah menghabisi orang yang mempermalukannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline