Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Peri[h]bahasa dan Rasa Marah

Diperbarui: 25 Juni 2024   10:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengasah Marah (Sumber: Pexels/YOGENDRA SINGH)

Angguk bukan, geleng iya. Begitu kata peribahasa. Apa artinya? Orang yang tidak jujur, lain yang dikatakan lain yang dilakukan. 

Banyak orang di sekitar kita yang berwatak demikian. Disangka mengangguk, eh, ternyata menggeleng. Dikira setuju, oh, ternyata menolak. Di depan kita selalu manis bibir, ups, di belakang kita sontak pahit lidah.

Pengertian angguk pada peribahasa ini adalah 'menundukkan kepala sebagai tanda setuju', sedangkan kata geleng berarti 'gerakan kepala ke kiri dan kanan untuk menyetakan tidak setuju'. Adapun iya berarti 'ya atau menyatakan setuju, membenarkan, atau mau'.

Biasanya mengangguk berarti setuju dan menggeleng pertanda tak setuju. Namun, dalam peribahasa ini maknanya terbalik. Orang yang menggeleng justru alamat setuju atau membenarkan, sedangkan orang yang mengangguk pertanda tidak setuju atau tidak membenarkan.

Peribahasa ini kiasan bagi orang yang kerap mengangguk saja atau setuju-setuju saja, padahal di dalam hatinya menolak. Kita melihatnya menggeleng, padahal di dalam hati sebenarnya mengiya.

Persis seperti tuah peribahasa: lain di mulut lain di hati. Atau: angguk enggan, geleng mau.

Jika kita bertemu dengan orang yang plin-plan semacam ini, hati kita alamat kerap mendongkol. Kita sangka sependapat dengannya, di depan kita pun menyatakan begitu, ternyata pendapatnya berbeda setelah berada di belakang kita.

Kesal bukan main. Namun, jangan pendam rasa kesal itu. Umbar saja. Kakatan saja kepadanya. Bilang saja "aku tidak suka orang yang plin-plan". Atau, pertegas saja dengan kalimat seperti "kalau setuju bilang setuju, kalau tidak bilang tidak".

Masalahnya, jika kita memendam rasa berang, gusar, atau dongkol, justru dampak negatifnya akan menimpa kita.

Pada 2013, riset yang hasilnya dibabar dalam Journal of Psychosomatic Research menyatakan bahwa kebiasaan 'makan hati' atau "memendam rasa marah" berisiko kemungkinan mati muda tiga kali lebih besar dibanding orang yang mampu atau terbiasa menyalurkan emosi mereka.

Masakan gara-gara orang plin-plan lantas kita yang harus menanggung risiko. Ya, kita yang mangkel (marah yang dipendam dalam hati). Atau, dongkol (marah yang ditahan-tahan sampai menggeretakkan geraham).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline