Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Membaca Karakter Lewat Ilmu Fisiognomi Kuno Turatea

Diperbarui: 4 Maret 2023   10:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karakter Wajah (Gambar: Franz Xaver Messerschmidt, The Vexed Man, The J. Paul Getty Museum, Los Angeles, CA), Ken Gonzales-Day

SEJAK dahulu kala, wajah dianggap sebagai cerminan kepribadian seseorang. Dengan melihat dan mengenali wajah seseorang maka kita lebih mudah memahami karakter atau kepribadian orang tersebut.

Wajah menjadi unsur penting dalam berinteraksi dengan orang lain, karena memberikan banyak informasi tentang suasana hati, temperamen, karakter, serta status sosial dan ekonomi. Itu pula sebabnya muncul ilmu fisiognomi yang secara khusus mempelajari hubungan antara wajah dan karakter.

Fisiognomi bukanlah disiplin ilmu yang baru muncul, melainkan ada sejak ribuan tahun lalu. Kira-kira 2000 tahun silam, para tabib Cina mendiagnosis penyakit dengan cara membaca wajah pasien. Mereka meyakini bahwa wajah mampu menggambarkan karakteristik, tabiat, temperamen, dan energi seseorang.

Dalam konsep pembacaan wajah Cina, manusia memiliki tiga bagian tubuh yang harus diurai dan dibaca, yakni tubuh fisik, roh, dan jiwa. Tubuh fisik bersifat konkret sehingga dapat dilihat, disentuh, atau diraba, sedangkan roh dan jiwa bersifat abstrak sehingga keberadaannya hanya bisa dirasakan. Selanjutnya, tubuh fisik dikendalikan oleh roh (spiritual) dan jiwa (mental). Pengetahuan membaca wajah kemudian memantik tumbuhnya pengetahuan tentang akupuntur, Feng Shui, dan Qi Gong.

Ilmu fisiognomi berkembang juga di Barat. Pada masa lampau, ilmuwan Yunani mempelajari karakter seseorang melalui bentuk wajah, anggota tubuh, rambut, dan suara. Aristoteles dan Hippocrates meyakini adanya hubungan erat antara ciri fisik dengan kepribadian seseorang. Setelah itu Shakespeare, Milton, dan Dryden menemukan prinsip-prinsip fisiognomi.

Pada abad ke-18, Johan Kaspar Lavater menemukan hubungan antara ciri-ciri wajah dan kondisi mental. Seabad kemudian, Franz Joseph Gall mengajukan teori frenologi. Edward Jones, seorang hakim asal Los Angeles, pada 1930-an mengamati gerak-gerik atau mimik wajah untuk mengidentifikasi kejahatan seseorang. Ia juga menggunakan fisiognomi dalam proses memilih juri. Berikutnya, Paul Ekman pada 1960 mengemukakan konsep tentang wajah sebagai instrumen yang penting dalam berkomunikasi.

Pengetahuan tentang membaca tubuh fisik untuk mengetahui kepribadian muncul juga di Nusantara. Sebuah naskah yang ditulis dengan menggunakan aksara Arab-Pegon tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Naskah yang berkaitan dengan fisiognomi itu berjudul Wirasat Sapi'i yang disunting oleh T. E. Bahrend (1998) dengan nomor panggil Br 8. Dalam naskah itu terdapat cara membaca kepribadian seseorang melalui kepala, rambut, dahi, telinga, alis, mata, hidung, dan bibir.

Sementara itu pada 1991/1992, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI melaksanakan proyek proyek penelitian dan pengkajian kebudayaan Nusantara, seperti menelaah lontarak panngissengeng di Sulawesi Selatan.

Baca: Mengenal Lontarak Panngissengang, Warisan Tradisi Literasi Turatea

Fisiognomi dalam Lontarak Panngissengang

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline