Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Petuah Leluhur dan Bom Bunuh Diri di Gerbang Katedral Makassar

Diperbarui: 28 Maret 2021   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gereja Katedral Makassar atau Gereja Hati Yesus Yang Mahakudus pada 1900--1919 (Foto: Tropenmuseum)

Tidak bisa dibenarkan. Tiga kata itulah yang patut disematkan pada kelakuan biadab pelaku bom bunuh diri. Sangat biadab. Dua kata itulah yang pas untuk menggambarkan pengeboman di pintu gerbang Gereja Katedral Makassar. Kalau mau satu kata, cukuplah kata ini: Terkutuk!

Dahulu kala, ketika Kerajaan Gowa-Tallo sedang jaya-jayanya, toleransi sangat terjaga. Tenggang rasa terbangun di Negeri Para Daeng tanpa pandang bulu. Jangankan kepada pendatang berbeda keyakinan, berbeda ras saja tidak menjadi masalah.

Kerukunan umat beragama di Sulawesi Selatan pun tetap terjaga. Pada 2019, berdasarkan indeks Kerukunan Umat Beragama yang dirilis oleh Kementerian Agama RI, indeks KUB Sulsel mencapai 75,70. Angka itu lebih tinggi dibanding KUB secara nasional yang berada pada angka 73,83.

Hari ini, Minggu (28/3/2021), Makassar dikejutkan oleh sebuah ledakan bom bunuh diri. Rasa kemanusiaan mendadak tertampar. Tidak heran jika ledakan bom bunuh diri di pintu gerbang Gereja Katedral Makassar menuai kecaman dari berbagai kalangan. 

Bom bunuh diri itu sangat jauh dari nilai-nilai luhur masyarakat Bugis-Makassar, sangat jauh dari kearifan lokal warisan leluhur.

Keragaman beragama di Negeri Para Daeng

Pada tahun 1525, dua pastor dan seorang misionaris dari Portugis tiba di Makassar. Vriens dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia mencatat kedatangan mereka. Kedatangan mereka diterima dengan tangan terbuka oleh Raja Gowa kala itu, Karaeng Tumapakrisik Kallongna.

Kedatangan Pastor Antonio do Reis, Pastor Cosmas de Annunciacio, dan misionaris Bernardinode Marvao pada 1525 mengawali masuknya Katolik di Tanah Anging Mammirik.

Penyebar agama Islam dari Tanah Melayu juga tidak dirintangi sedikit pun untuk menyebar syiar Islam di Makassar. Raja Tunijallo,  raja ke-12 di Kerajaan Gowa, mengizinkan pendatang dari Melayu untuk membangun masjid di kawasan Mangngallekana, sebelah utara Benteng Somba Opu (Mangemba, 2002:29).

Bukan hanya itu. Raja Tunijallo--I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasak--memelopori pemberangkatan warga beragama Islam ke Tanah Suci. Atas bantuan orang-orang Melayu, Raja Tunijallo (1565--1590) memberangkatkan warga ke Mekah untuk pertama kali dalam sejarah Kerajaan Gowa.

Penerus Raja Tunijallo, I Tepukaraeng Daeng Parekbung Karaeng Tunipasuluk, tidak bertahan lama di takhta Kerajaan Gowa. Singgasana berpindah kepada sang adik, I Mangngakrangi Daeng Manrabbia. Raja ke-14 di Kerajaan Gowa itulah yang pertama kali memeluk agama Islam. Ia pun digelari Sultan Alauddin.

Selama masa pemerintahan Sultan Alauddin, semua agama hidup berdampingan dengan damai di Kerajaan Gowa. Karaeng Matoaya, Mangkubumi Kerajaan Gowa sekaligus Raja Kerajaan Tallo, sendiri merupakan raja pertama yang memeluk Islam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline