Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Jalan Ninja Seorang Pengarang

Diperbarui: 14 Maret 2021   23:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menulis. Terus menulis (Gambar: thewritelife.com)

Ketika usia saya beranjak remaja, ketika jakun mulai tumbuh, ketika suara mulai berubah, saya yakin manakala dewasa akan menjadi seorang pengarang. Keyakinan itu kian membuncah saat memasuki sekolah menengah atas. Menjadi pengarang, itu cita-cita saya.

Namun, perjalanan menuju dunia kepengarangan tidaklah mudah. Panjang dan berliku. Antologi puisi sudah siaga semenjak kelas tiga SMA, tahun 1993, tetapi tidak satu pun penerbit bersedia mencetaknya. Sabar. Itulah kata yang kujadikan bunga pemanis harapan.

Guru Bahasa Indonesia saya, Asia Ramli Prapanca, menjadi pembaca pertama antologi puisi itu. Beliau dengan tegas berkata, "Kirim ke penerbit, Nak." Saya mengangguk. Saya menahan diri agar tidak keceplosan mengatakan "sudah ditolak berkali-kali".

Memasuki pertengahan tahun 1997, saya menyeberang ke Pulau Jawa. Saya tinggalkan Makassar. Tempat pertama yang saya datangi adalah Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya mengincar beberapa orang. Sebut saja Rendra, Seno, Sutardji, dan Remy Silado. Saya ingin bertemu mereka.

Sebulan menggelandang di TIM akibat dompet dilumat maling di kapal laut saat menuju Jakarta, saya bertemu empat pendekar sastra itu. Saya bertahan hidup di Jakarta dengan menjadi kenek metromini. Jika menarik sewa, saya membaca puisi. Indah sekali.

Ketika uang terkumpul, saya mulai mendatangi beberapa penerbit di Jakarta. Dari yang besar, sedang, hingga kecil. Semuanya saya jabani. Delapan penerbit. Semuanya menolak. Sebagian tanpa alasan, sebagian atas dalih "belum punya nama".

Patah arang. Jakarta memang tidak mudah ditaklukkan. Bang Remy mengarahkan saya untuk menemui seorang temannya di Bandung. Hernowo. Saya belajar banyak dari beliau. Saya mulai menapaki jalan kepengarangan dengan menjadi pemeriksa aksara (proof reader).

Kumpulan cerpen kedua, Gadis Pakarena, diketik dari novel cicilan (Gambar: Dokpri)

Mengetik naskah buku di rental komputer

Sekalipun sempat berpaling dari puisi, saya tidak pernah benar-benar meninggalkannya. Bagi saya, puisi sudah mengakar di hati. Hanya saja, saya harus realistis. Jika ingin menjadi penulis atau pengarang, saya mesti berpaling sejenak dari puisi.

Tahun 2007, buku pertama saya terbit. 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang. Seorang penulis tenar, Bambang Trim, bersedia menerbitkan buku anggitan saya. Buku tentang neurologi. Buku tentang mengembangkan kapasitas kemampuan otak.

Buku pertama itu, buku penanda jejak itu, buku pembuka gerbang kepenulisan itu rampung juga. Setiap hari saya naik angkot dari Parung ke Bogor untuk menyewa komputer. Rata-rata 10 jam per hari. Begitu setiap hari. Begitu selama sepekan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline