Desas-desus tentang presiden tiga periode kembali mengemuka. Sebenarnya itu bukan wacana baru, melaikan ide usang yang kembali dikemas ulang. Pada akhir tahun 2019, ada pihak di DPR yang mengembuskan pembahasan ulang pembatasan masa jabatan presiden.
Kabar terbaru, Amien Rais urun komentar. Politikus sepuh yang tengah sibuk membangun Partai Ummat kembali "meradang". Ia mengaku telah menangkap sinyal politik atau skenario yang mengarah pada mengantar Jokowi agar kembali terpilih hingga tiga periode.
Skenario itu, kata Amien, salah satunya terlihat dari keinginan pemerintah menghapus prinsip-prinsip dasar negara yang terkandung dalam Pancasila. Keinginan pemerintah itu didukung oleh kekuatan politik dan keuangan yang besar.
Amien menyatakan, dikutip oleh cnnindonesia.com, "Ada manuver politik yang dilakukan oleh pemerintah saat ini untuk mengamankan semua lembaga negara, mulai dari DPR, DPD, MPR, hingga lembaga lainnya."
Terlepas dari benar atau tidaknya skenario yang dibaca oleh Amien Rais, kita semua, terutama para wakil rakyat di Senayan, perlu berhati-hati dalam membuka keran pembatasan jabatan presiden dan wakil presiden. Sejarah dapat menjadi cermin, pengalaman dapat menjadi guru.
Pada dasarnya, UUD 1945 mengatur tentang ketentuan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Sayang sekali, ketentuan itu tidak diikuti oleh pengaturan masa jabatan. Dampaknya fatal. Celah itu dimanfaatkan oleh Sukarno dan Suharto untuk melanggengkan kekuasaan.
Semula Pasal 7 UUD 1945 hanya berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali". Klausul dalam pasal itu memang punya celah. Berkuasa selama lima tahun dan dapat dipilih kembali. Hanya itu. Tidak ada batasan berapa kali seseorang bisa dipilih kembali.
Celah itulah yang dimanfaatkan oleh Sukarno dan Suharto. Sejarah mencatat, Sukarno semasa Orde Lama mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Sejarah juga mencatat, Suharto selama Orde Baru maju hingga terpilih menjadi presiden sebanyak tujuh kali.
Berdasarkan dua pengalaman itu, melalui Rapat Paripurna Sidang Umum MPR RI pada 19 Oktober 1999, rancangan rumusan amendemen Pasal 7 disahkan. Tuntas sudah perdebatan tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Perubahan Pasal 7 secara tersurat menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Jadi, baik presiden maupun wakil presiden hanya bisa menjabat selama dua periode. Tidak boleh lebih. Baik berturut-turut maupun tidak berurutan.
Itulah sebabnya wacana untuk menduetkan kembali pasangan Jokowi-Jusuf Kalla terhenti di tengah jalan. Jusuf Kalla otomatis terganjal aturan, sebab sebelumnya ia sudah menjabat wakil presiden semasa berduet dengan SBY.
Hal serupa menimpa SBY. Sempat terbetik isu SBY akan dimajukan kembali pada Pilpres 2019. Namun, jika merujuk pada hasil amendemen Pasal 7, SBY mustahil mencalonkan atau dicalonkan kembali sebagai presiden, sebab beliau sudah menjabat selama dua periode.