Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Bapak Daripada, Kuningisasi, dan Kebrutalan Pengistilahan Rezim Orba

Diperbarui: 13 Maret 2021   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia (Foto: Kompas/Pat Hendranto)

"Ada orang yang pidatonya menggunakan berpuluh-puluh kali kata 'daripada' yang tidak menuruti aturan kebahasaan. Orang yang terlalu banyak menggunakan kata 'daripada' yang tidak tepat dapat dijuluki 'Bapak Daripada'." ~ Jusuf Sjarif Badudu

Pak Badudu memang tidak punya otot gentar. Urat takutnya sudah putus. Tanpa tedeng aling-aling, beliau langsung memilih diksi "Bapak Daripada". Gelar itu, bagi Badudu, pas disematkan kepada Bapak Suharto seperti halnya gelar "Bapak Pembangunan".

Memang beliau tidak secara langsung menunjuk hidung Suharto, tetapi rakyat Indonesia tahu benar siapa nama tokoh yang paling getol menggunakan kata 'daripada'. Tiada lain tiada bukan, Haji Muhammad Suharto namanya, Bos besar dari Kerajaan Cendana yang sangat antikritik.

Pada masa ketika kritik menjadi sesuatu yang tabu bagi kubu Suharto, Badudu tidak mau tahu. Pendekar bahasa kelahiran Gorontalo, 19 Maret 1926, tidak sekali-dua kali "menggelitiki" cara Bos Besar menggunakan bahasa Indonesia. Berkali-kali.

Kritik terbuka itu beliau wacanakan lewat tulisan kebahasaan di Majalah Intisari, lantas kemudian dimasukkan ke dalam buku dengan judul Inilah Bahasa Indonesia yang Benar (1989). Merasa tidak mempan, kritik ia lontarkan lewat siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI.

Namun, kependekaran Badudu bukan sebatas mengkritik penguasa Orde Baru. Kritik tajam beliau ditujukan kepada siapa saja yang gemar merusak bahasa Indonesia. Kala itu, perusakan bahasa Indonesia memang bermula dari Suharto, turun kepada menteri-menterinya, hingga menular ke mana-mana.

Jusuf Sjarif Badudu sang Pendekar Bahasa (Foto: Kompas/Kartono Riyadi)

Berikut saya sajikan beberapa istilah pada masa Orde Baru yang sedarah sekeluarga dengan penyimpangan penggunaan daripada.

Pertama, paduan suara akhiran "-keun". Mula-mula Suharto. Jarang benar jenderal pemilik lahan pertanian luas di kawasan Tapos, Jawa Barat, itu melafalkan akhiran "-kan" dengan benar. Selalu "-keun". Lama-lama anak buahnya di pemeritahan ikut-ikutan. Koor akhiran "-keun" pun bergema.

Ajaibnya, pejabat dari selain suku Jawa pun turut serta meramaikan paduan suara. Seolah-olah pidato atau sambutan kurang semarak jika akhiran "-kan" dilafalkan dengan benar.

Kedua, program kuningisasi. Sesungguhnya kata kuning tidak bisa dipadankan dengan bentuk terikat "-isasi". Namun, tidak semua pakar bahasa berdaya menentang dan menantang Bos Besar. Kuningisasi merajalela. Istilah penguningan pun dikalahkan oleh kuningisasi.

Pagar dan dinding rumah dikuningkan. Gedung perkantoran disatuwarnakan. Toko-toko dibubuhi bedak warna kuning. Pohon-pohon disemir kuning. Bendera partai yang berkibar mesti berwarna kuning. Semua harus kuning. Itulah kuningisasi, sebuah kata yang sebenarnya bermakna "penggolkaran".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline