Daeng, judul artikelmu terlalu tendensius dan emosional. Begitukah? Tidak apa-apa. Saya sengaja memilih judul yang spesifik, tidak berbelit-belit, dan langsung ke pokok masalah. Biar menonjok, biar menohok. Judul yang dikeras-keraskan saja tidak diindahkan, apalagi dilembut-lembutkan.
Saya memang rewel. Tidak apa-apa. Saya tahu itu. Bagi saya, penting untuk mengingatkan administratur Kompasiana, selanjutnya saya singkat admin K, untuk lebih peduli pada bahasa Indonesia. Jangan karena ngeyel ingin dianggap kekinian lantas apa-apa berbahasa Inggris.
Saya emosional? Tidak apa-apa. Saya sadari hal itu. Sebagai manusia yang berkewarganegaraan Indonesia, saya punya perasaan. Pantas jika saya emosional. Apalagi melihat bahasa Indonesia dipinggirkan, dikesampingkan, atau diabaikan. Pun itu dilakukan oleh admin K. Kzl, sumpah!
Benarkah admin K makin keinggris-inggrisan? Ya. Gelagatnya jelas, gejalanya terang. Itu fakta, bukan kabar angin. Apalagi fitnah tak berdasar. Saya punya banyak bukti. Satu artikel tidak akan cukup menampung seluruh bukti di tangan saya. Namun, percuma juga ngeyel. Admin K belum tentu peduli. Dilirik saja tidak, apalagi dibaca. Diperhatikan saja tidak, apalagi dipraktikkan.
Sudah tahu nasib artikel ini bakal begitu, mengapa saya bersikeras menganggit artikel ini? Biar Kompasianer dan pembaca saja yang tergelitik. Tidak apa-apa kalau nanti ada yang bilang "gak mau, gak suka, gelay", tidak apa-apa. Itu lebih Indonesia dibanding apa-apa sok nginggris.
Digocek Rating. Itu salah satu contoh. Apa susahnya admin K menaja topik pilihan yang berasa Indonesia? Sederhana, pilih saja "digocek peringkat". Apa coba alasan sehingga harus memakai "rating"? Saya bingung menentukan jawabannya.
Supaya terkesan keren? Jika "peringkat" admin K anggap kurang keren dibanding kata "rating", itu berarti admin K sudah merendahkan atau meremehkan bahasa Indonesia. Mengejutkan, sebab Kompas selama ini terkenal sebagai media yang getol menyuarakan penggunaan bahasa Indonesia.
Supaya pembaca lebih mudah mengerti? Jika itu jawabannya, makin ngenes saja. Jangan anggap remeh kemampuan Kompasianer dan khalayak pembaca. Mereka pasti tahu bahwa peringkat dalam bahasa Indonesia disebut rating dalam bahasa Inggris. Kalaupun tidak tahu, mereka akan mencari tahu.
Dari LDR Kita Belajar. Itu contoh kedua. Otak saya mendadak tumpul. Bukan. Saya pikir, otak saya sengklek alias bergeser. Dulu di batok kepala, sekarang di tempurung lutut. Kenapa bisa begitu? Admin K gara-garanya. Saya heran, benar-benar teramat sangat heran. Admin K tahu bahwa Long Distance Relationship berarti Hubungan Jarak Jauh, tetapi yang dipakai tetap istilah Inggris.
Apakah Kompasiana akan bangkrut seketika kalau memakai bahasa Indonesia? Norak, ah. Tidak akan. Kompasiana akan pailit kalau tidak ada lagi pengiklan, kehabisan pembaca, dan tidak ada seorang pun yang menulis. Bukan gara-gara memakai bahasa Indonesia. Jangan keblinger, Cuy!
Andaikan tidak tahu padanan satu istilah dalam bahasa Indonesia pun, cobalah berusaha mencari tahu. Jangan malas. Jangan gabut. Admin K digaji untuk bekerja, bukan untuk malas-malasan. Parahnya, bahasa Indonesia saja belum paham benar sudah keinggris-inggrisan.
Lihat saja. Sebulan belakangan ini artikel yang sok keminggris rajin nongkrong di artikel utama. Ada apa? Admin K takluk pada ketidakmampuan Kompasianer berbahasa Indonesia? Admin K tunduk pada anggapan Kompasianer bahwa menggunakan istilah berbahasa Inggris lebih beken?