Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Jokowi, Kritik Pedas, dan Akuisisi Oposisi

Diperbarui: 11 Februari 2021   05:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Temu damai Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus seusai Plipres 2019 (Foto: Kompas.com/Kristian Erdianto)

"TIDAK ADA lagi cebong dan kampret," kata Presiden Jokowi. Pernyataan itu beliau lontarkan seusai bertemu dengan Prabowo pada Sabtu, 13 Juli 2019, di Stasiun MRT Lebak Bulus. Usai sudah Pilpres 2019 yang sempat mengotak-ngotakkan rakyat Indonesia telah usai.

“Semuanya sekarang merah putih,” kata Prabowo pada konperensi pers, dinukil Kompas.com. Dua pihak yang sebelumnya bersaing memburu kursi RI-01 akhirnya bertemu. Pemilihan lokasi Stasiun MRT Lebak Bulus sebagai tempat pertemuan semacam simbol agar masyarakat Indonesia sudi selekas-lekasnya melupakan perbedaan.

Pada kesempatan yang sama, Prabowo menyatakan akan tetap mengkritik kinerja pemerintahan demi kepentingan rakyat. Sepanjang periode pertama Jokowi (berpasangan dengan Jusuf Kalla), Partai Gerindra memang bersikap sebagai partai oposisi bersama PKS. Lahirlah sosok-sosok yang cukup rajin “bernyanyi”, seperti Fadli Zon (Gerindra) dan Fahri Hamzah (PKS).

Namun, kenyataan berkata lain. Prabowo tidak sanggup menampik pinangan Jokowi untuk masuk dalam jajaran kabinet. Ia mendapat kursi Menteri Pertahanan RI. Dengan demikian, keoposisian Partai Gerindra turut mengalami resistensi. Fadli Zon yang semula kerap “bernyanyi”, pelan-pelan kicep dan sekarang sudah jarang terdengar “nyanyiannya”.

Langkah yang dilakukan oleh Jokowi tentu saja sah dalam praktik demokrasi. Pemerintah butuh sokongan kuat dari parlemen. Menarik Partai Gerindra ke dalam lingkar koalisi pendukung akan memperkokoh posisi pemerintah. Oposisi pun tergerus. Hanya tersisa PKS yang memilih setia beroposisi. Adapun Partai Demokrat seakan-akan bermain dua kaki: satu kaki ingin mendekat ke Istana Negara, kaki lainnya ingin berada di kubu oposisi.

Akuisisi oposisi. Tampaknya istilah itu cukup memadai untuk menggambarkan langkah politis yang dilakukan Jokowi. Pada satu sisi terlihat sebagai upaya untuk meredam perbedaan akibat pilpres, pada sisi lain terlihat sebagai langkah pelemahan oposisi. Hasilnya dapat diterka. Senayan seakan-akan sekadar tempat rapat penyetujuan usulan pemerintah. 

Menanti kritik pedas dan mengakuisisi oposisi

"BERI kami kritik pedas," kata Jokowi. Permintaan itu beliau lontarkan pada Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin (8/2/2021), melalui kanal Youtube Ombudsman.

Andai saja Partai Gerindra tidak diakuisisi, kritik pedas akan berserakan di mana-mana. Memang PKS masih setia dengan lakon oposisinya, tetapi Demokrat tengah sibuk dengan ancaman kudeta. Parlemen melemah. Akibatnya, Jokowi meminta kritik dan masukan langsung kepada masyarakat.

Akuisisi oposisi yang dilakukan oleh Jokowi telah menunjukkan dua hasil, yakni (1) partai oposisi melemah, dan (2) fungsi oposisi mandek. Padahal oposisi, jikalau berjalan dengan baik, bukanlah sekadar menunjukkan sikap asal berbeda atau berani melawan kebijakan pemerintah. Makna oposisi tidak seremeh itu.

Secara ideal, oposisi adalah kelompok di luar pemerintah yang mampu mengontrol dengan tegas dan memberikan alternatif kebijakan yang bernas. Sayangnya, eksistensi oposisi setelah diakuisisi oleh Jokowi makin rapuh. 

Kita bisa melihat kondisi hari ini. PKS bergerak parsial, seperti pekerja serabutan yang menerima pekerjaan apa saja. Sementara itu, Partai Demokrat sibuk menggerogoti pemerintah dengan isu kudeta. Kebijakan pemerintah, seperti penanganan pandemi korona, tidak mendapat kontrol tegas dari pihak oposisi. Fungsi oposisi terlihat macet.

Padahal, oposisi dapat pula berfungsi sebagai pengendus dan pengembus "bau busuk" yang disembunyikan oleh pemerintah. Sekadar pengingat, kita bisa mengeja ulang pendapat Leslie Lipson (1964, 247) yang menyatakan bahwa:

“Di beberapa negara demokrasi--baik yang menganut model mayoritas maupun konsensus, bahkan campuran sekalipun--partai oposisi dapat membuka kedok yang dilakukan oleh partai berkuasa manakala melakukan tindakan yang tidak adil. Keberadaan oposisi diperlukan untuk dapat mengekspos ketidakadilan, jika itu ada.”

Riwayat perjalanan oposisi di Indonesia memang sudah panjang. Jika kita mundur pada masa-masa awal kemerdekaan, pihak oposisi terjerembap dalam situasi “seperti ada, padahal tiada”. Pada masa Orde Baru, oposisi mengalami pengucilan sadis. Oposisi diberi embel-embel tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Kadang dituding antipembangunan. Dua era itu dapat kita tengarai sebagai penyebab oposisi mati suri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline