Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Jika Aku Memang Rapuh, Jangan Paksa Jadi Tangguh

Diperbarui: 11 Februari 2021   05:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menangislah, sebab hati kita tidak hanya butuh gelak tawa (Ilustrasi: Getty Images)

AKU kehilangan daya penciuman. Tiba-tiba aku tidak mampu membedakan wangi parfum dan aroma ketiak. Aku kehilangan kemampuan mencecap. Lidahku takmampu membedakan manis, pahit, dan hambar. Lidahku hanya mengenal panas, hangat, dan dingin. Untunglah mataku masih mampu memastikan bahwa perempuan tercinta selalu manis. Selalu manis!

Sehari sebelumnya, aku terserang demam. Panas. Panas sekali. Kerongkonganku seperti sawah yang tujuh tahun tak disinggahi hujan. Kering. Kering sekali. Gusiku seperti bunga cicilan yang tiba-tiba membengkak. Sakit. Sakit sekali. Dadaku seperti gerbong kereta yang disesaki penumpang. Sesak banget.

Lalu kuceritakan perasaanku, penderitaanku, dan kesakitanku kepada seorang kawan. Dengan enteng, sebelum aku berkata bahwa aku merasa rapuh, dia sudah mengatakan, "Makanya kalau ke mana-mana harus hati-hati."

Ia pun berkicau tentang jaga jarak, pakai masker, rajin cuci tangan, dan anjuran lain yang ia cuplik mentah-mentah dari protokol kesehatan. Aku belum membalas apa pun, saran berikutnya sudah muncul di WA. Semula kudiamkan saja, tetapi rasa penasaran mendesak-desakku.

"Hadapi dengan tenang. Tidak semua orang yang terpapar korona akhirnya mati. Kalau sudah ajal, tanpa korona juga kamu akan mati."

Seketika kukirimkan emoji tertawa dengan setitik air di mata kiri. 

Tidak, aku belum mengatakan apa pun, belum menanyakan apa yang akan atau harus kulakukan, belum meminta saran apa-apa, belum berharap diyakinkan soal ajal yang sudah saya tahu dari kecil bahwa ajal memang tidak bisa ditunda--dengan atau tanpa penyakit.

Aku hanya ingin mengurangi bebanku dengan menceritakan apa yang tengah kuderita. Begitu saja. Tidak lebih, tidak kurang. 

Aku tidak perlu diingatkan bahwa penyakit apa pun tidak akan bisa merenggut nyawa jikalau belum ajal. Saat masih remaja aku sudah tahu rasanya menderita leukemia. Kala itu, kemoterapi belumlah jamak.

***

UNTUNG SAJA, aku punya perempuan yang sangat memedulikan dan menyayangiku. Perempuan yang tabah menghadapi kerewelan dan kemanjaanku. Perempuan yang tidak akan menasihatiku jika aku tidak meminta nasihat. Perempuan yang dari tatapan mataku saja ia sudah tahu apa yang aku rasakan.

Begitulah. Aku ceritakan pengalamanku ini kepadamu agar kamu tidak merasakan runtuh mental saat "diceramahi" oleh sahabatmu. Di luar sana, banyak orang yang merasa nasihat positif pasti akan mengungkit mental orang yang tengah terpuruk. Jadi, kuatkan hatimu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline