Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Dimarahi Atasan? Menulislah Jika Ingin Lebih Bahagia

Diperbarui: 2 Februari 2021   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hanya karena bos Anda marah, bukan berarti dia meraksasa dan Anda mengerdil (Ilustrasi: jadikaryawan.com)

ANDA sedang berduka karena sesuatu yang menyedihkan baru saja menimpa Anda? Tulislah. Anda marah karena atasan Anda marah-marah tanpa sebab yang jelas? Tulislah. Anda riang hati karena menemukan selembar duit seribu rupiah di jalan? Tulislah.

Saya pernah sangat marah karena merasa direndahkan, disepelekan, dan tidak dianggap sebagai manusia. Saya tinju dinding berkali-kali, keras, lagi dan lagi, terus begitu hingga kepalan saya berdarah, tetapi sakit hati saya tidak sembuh.

Saya berbalik, bersandar ke dinding, membiarkan tubuh menggelosor hingga terjelepak di lantai, mengucek-ngucek rambut sendiri, terdiam, merasakan hening memasuki dan merasuki hati, lalu saya menarik napas sebanyak-banyaknya dan mengembuskan sekencang-kencangnya.

Ternyata itu belum cukup memulihkan perasaan saya. Tenang masih jauh dari dada. Jantung masih berdetak keras. Keringat dingin masih berasa di pori-pori kening. Pundak dan tengkuk masih berat seakan-akan tertindih batu besar.

Lalu, saya berdiri dan berjalan ke meja kerja. Membuka laptop, menyalakannya, dan menulis. Ya, hanya menulis. Tidak ada kerangka, tidak ada konsep, tidak ada tema. Pendek kata mengetik begitu saja. Saya tidak memikirkan sedang mengetik apa. Bodoh amat.

Plkemtiaonrspem brikegzmveoagwptz. Uh. Mrekzprtaplkmvxcd. Pft. Rrrgghhkemalgrr. Uzgarkhanrlakepwmaydp. Uft. Mzlopwmabck. Begitu. Tanmakna. Nirfaedah. Tidak jelas. Seperti balita menggerundel. Bagai kakek-kakek menyinyir.

Ajaibnya, saya tertawa keras sewaktu membacanya. Hilang kesal. Hilang sedih. Hilang amarah. Saya baca ulang, tertawa lagi. Kepala yang berat bagai ditindih setruk batu gelondongan, tiba-tiba hilang sendiri. Pundak saya menjadi ringan.

Saat itu saya taktahu apa yang saya tulis. Saya taktahu erti kata “mzlopwmabck”. Saya taktahu makna frasa “plkemtiaonrspem brikegzmveoagwptz”. Ajaibnya, saya bahagia. Begitulah. Sejak saat itu, teori bahwa menulis dapat menjadi terapi trauma saya praktikkan. Langsung.

Hasilnya? Saya tertawa. Saya bahagia. O ya, artikel ini adalah sekuel dari artikel sebelumnya, Niat Menulis supaya Bahagia Malah Makan Hati.

***

BAGAIMANA bisa kejadian traumatis dapat kita sembuhkan dengan menulis? Bisa saja. Tragedi sepahit apa pun dapat kita ringankan lewat menulis. Trauma semenyakitkan apa pun bisa kita obati dengan menulis. Rahasianya cuma dua: tahu caranya dan rajin melakukannya.

Ketika Anda merasa dongkol bukan kepalang karena seseorang di tempat kerja, entah atasan entah rekan, mengintimidasi sanubari Anda dengan perlakuan atau perkataan buruk, tidak usah ke toilet untuk menangis diam-diam. Telan dulu. Tenangkan hati. Pasti tidak mudah, tetapi jauh lebih baik daripada Anda memperlihatkan ketakberdayaan atau kemarahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline