Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Niat Menulis supaya Bahagia, Malah Makan Hati

Diperbarui: 2 Februari 2021   21:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana caranya agar tulisan saya menembus koran? Ah, pusing (Gambar: thefashionglobe.com)

JIKA setelah Anda menulis lantas ada sesuatu yang memberati kepala Anda, seperti hasrat ingin tulisan dibaca oleh banyak orang, lalu Anda kecewa manakala hasrat itu tidak terpenuhi, saat itu Anda sedang "korsleting". 

Bayangkan Anda seorang pelajar SMP yang sedang lucu-lucunya, yang menulis dengan hati riang tiap hari, yang mati-matian meningkatkan kualitas tulisan, yang hasrat melihat tulisannya terpajang di koran melebihi gairah petinju yang ingin menghabisi lawannya dalam sekali tonjok, lalu setiap pekan ia kirim karyanya tanpa kenal lelah. 

Bayangkan bagaimana perasaannya ketika tiap bulan menerima surat penolakan pemuatan karya, tetapi ia terus menulis dan tetap mengirimkan karyanya, sementara pihak media cetak juga bersikukuh mengembalikan karya itu, begitu terus hingga setahun, dua tahun, tiga tahun, malahan sampai 12 tahun.

Bayangkan perasaan pelajar SMP yang hatinya berselimut gairah menulis itu sudah selesai kuliah, sudah dua tahun bekerja, dan masih saja memburu mimpi melihat karyanya terpajang di media cetak level nasional. Lalu, ketika tulisan pertamanya dimuat di halaman empat sebuah koran yang terkenal angker dan susah ditembus, ia melonjak kegirangan. 

Bayangkan jika Anda yang mengalami "perjalanan kepengarangan pelajar itu" sekarang, saat ini, hari ini, ambil contoh sederhana saja tulisan di Kompasiana yang tidak perlu proses kurasi sudah dapat tayang. Bandingkan masa 12 tahun si pelajar SMP itu memburu mimpi dengan kita, hari ini, yang cukup tulis, unggah, dan tayanglah.

Bayangkan lagi alangkah kecewanya kita tatkala baru setahun, dua tahun, atau tiga tahun di flat K, kemudian menggerunyam tidak keruan, mendongkol setengah mampus, mengomel-ngomel sepanjang hari gara-gara tiada label "Pilihan" di artikel kita. Padahal, itu bukan surat dari redaktur koran yang berisi penolakan.

Remaja tanggung itu mengalami masa awal penolakan selama tiga tahun semasa SMP. Tiga tahun. Ia masih sangat muda untuk menanggung beban penolakan. Beda dengan kita yang rata-rata sudah kuliah, selesai kuliah, bahkan sudah tuwir seperti saya, Engkong Felix, Babe Hensa, Paman Ketut Suweca, atau Abah Jepe.

Pada titik seperti itu, kita perlu mendaras ulang niat menulis. 

Apakah kita menulis di Kompasiana demi label Pilihan? Apakah demi mengejar bilik Artikel Utama? Apakah kita menulis demi sebanyak-banyaknya pembaca? Tiga pertanyaan itu sebaiknya tidak kita sampaikan kepada bocah murid SMP itu. Bisa jadi bahan tertawaan baginya, sebab ia menulis untuk membahagiakan diri.

Saya tahu itu, sangat tahu hal itu, sebab saya kenal baik siapa pelajar SMP itu.

***

APAKAH menulis bisa menyehatkan? Saya hanya punya satu jawaban: ya. Menyehatkan dalam hal ini tidak hanya untuk raga, tetapi juga untuk jiwa. Namun, kita bakal kesulitan menjangkau "kelas sehat karena menulis" itu apabila kita mengerangkeng paradigma menulis dalam bui yang sempit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline