Akan saya ceritakan kepadamu satu pengalaman mengenaskan. Siang ini, ketika langit sedang murung, ketika cuaca tengah lembap, ketika tubuh masih belum bugar seperti semula, seorang teman menanyakan kabar dan apa yang sedang saya lakukan. "Menonton drakor," jawab saya.
"Apa?! Daeng suka nonton drakor? Gak banget!" Teman saya menutup pesannya dengan emoji kaget seraya menutup mulut. Teman saya itu dekat tidak renggang tidak. Tidak perlu saya sebut namanya di sini. Oh, harus ada nama? Baik, sebut saja namanya Panci Penyok.
Saya kira si Panci Penyok akan berhenti di situ saja. Tidak akan meneruskan percakapan basa-basi atau mengalihkan pembicaraan pada topik yang berasa sok kenal sok dekat. Ternyata tidak. Ia mengirim pesan baru. "Sekelas Daeng nonton drakor? Oh, God!"
Saya ingin sekali menjelaskan mengapa saya suka menonton drakor, tetapi saya pikir sia-sia. Betapa tidak, ia menutup pesannya dengan lima biji emoji ngakak tegak dan lima biji ngakak mencong hingga terburai air mata. Ya, sudahlah. Saya abaikan saja pesannya. Saya sedang tidak ingin menyerap energi negatif.
Semula saya pernah mendengar keluhan teman saya yang lain, seseorang yang ingin sekali menjadi penulis dan bukunya tengah disunting oleh pihak penerbit, karena merasa disepelekan atau diremehkan oleh si Panci Penyok. Gara-garanya, calon penulis ini senang sekali masak-memasak. Kawasan mainnya, ya, kalau tidak di dapur pasti di meja makan.
"Kayak cewek aja. Laki kok mainnya di dapur. Naik gunung, dong. Main basket, dong." Begitu kata si Panci Penyok tiap mengomentari hobi si calon penulis. Oh, calon penulis? Aduh, begitu amat nama samarannya. Oke, saya ganti. Buku yang Sudah Berbulan-bulan Dibeli, tetapi Belum Juga Dibaca. Kepanjangan, Khrisna?!
Hahaha. Ya, sudah. Sebut saja calon penulis itu sebagai si Kover Koyak. Soalnya, ia mudah putus asa. Diejek sedikit oleh si Panci Penyok, penyakit rendah dirinya kumat. Diejek banyak, diam-diam masuk toilet untuk menelan air mata. Saya sedih melihatnya, sebab semasa bocah saya pernah merasakan getirnya dirisak oleh teman sepermainan.
Satu ketika saya tegur si Panci Penyok. "Kawan, tidak ada yang keliru jika seorang lelaki sering atau suka memasak. Banyak koki tenar berkelamin laki-laki. Lagi pula, tidak semua laki-laki harus naik gunung atau main basket. Yang pasti, semua laki-laki akan mati!"
Kala itu, setelah mendengar teguran saya, setelah sejenak tampak membayangkan ekspresi si Kover Koyak, setelah mengetahui saya sedang serius, si Panci Penyok malah tertawa. "Kalian emang klop. Sebelas-dua belas. Satu doyan drakor, satu getol masak. Bikin komunitas saja. Lemper. Lelaki Melow yang Keperempuan-perempuanan."
Saya tersedak. Pas lagi minum, ia sebut kepanjangan Lemper. Air muncrat dari mulut saya. Duh, percikan busa kopi liong membasahi kemejanya yang bermerek (iyalah, ada mereknya sampai sekarang). Maaf, Bray, cukup sampai di situ sajalah cerita tentang tabiat teman saya yang tukang ejek hobi teman itu.
Ada yang lebih mendesak untuk saya tuturkan kepadamu. Bukan tentang si Panci Penyok yang menanyakan kabar saya, menanyakan saya sedang apa, lalu alih-alih mendoakan agar saya bisa pulih seperti sediakala, eh, ia malah dengan sebegitu sengak mentertawakan hobi saya. Bukan itu.
Kawan, janganlah kautiru tabiat buruk si Panci Penyok. Setiap orang berhak menjalani apa yang ia sukai. Eksekutif muda suka lagu dangdut, itu haknya. Lelaki kekar suka masuk salon, itu hak dia. Perempuan anggun senang main bola, itu haknya. Perempuan ayu gemar balap motor, itu hak dia. Kita tidak pernah diberikan wewenang oleh Tuhan untuk mengejek hobi teman.
Lagi pula, Kawan, ada dampak psikologis yang tidak pernah dipikirkan oleh si Panci Penyok. Baik, Brader, saya udar empat dampak buruk suka mengejek hobi teman. Simak, ya, biar kamu menjauh sejauh-jauhnya dari sifat busuk si Panci Penyok.