Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Mengudar Jalan Nyinyir Denny Siregar

Diperbarui: 13 Januari 2021   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Denny Siregar (Foto: fajar.co,id)

Denny Siregar memang tidak ada matinya. Pendengung yang kerap menjadi pengabar mati-matian apa pun kebijakan pemerintah itu seperti tidak pernah kehabisan ide. Ada-ada saja yang ia nyinyiri. Kali ini ia berkotek tentang model busana yang digunakan tokoh Nussa.

Cuitan Denny Siregar di Twitter kontan menuai caci. Tidak sedikit netizen yang geregetan akibat sentilan atas pakaian Nussa. Malahan ada warganet yang terkesan kalap dan membalas cuitan Densi, sebutan singkat nama Denny Siregar, dengan cukup galak.

Apa pasal sampai warganet dongkol bukan kepalang? Tiada lain lantaran Densi terkesan sangat kelewatan. Kata tetangga saya, kebangetan. Bukan apa-apa, Densi tidak lebih dari seorang awam yang mendadak merasa paling paham soal busana dan ide kreatif film animasi.

Setidaknya ada tiga kritik (lebih tepat: bawel) Densi terhadap film animasi apik yang sarat nilai edukasi itu. Pertama, keterlibatan Felix Siaw dalam tim produksi. Dengan rasa percaya diri yang terlalu tokcer, Densi menuduh animasi Nussa dibidani oleh Felix.

Benarkah demikian? Ternyata tidak. Tuduhan itu sudah dibantah dengan tedas oleh Angga Dwimas Sasongko, produser eksekutif film animasi Nussa. Menurut Angga, proses kreatif Nussa tidak melibatkan pemuka agama. Dengan kata lain, Nussa memang murni dibesut oleh para pekerja film.

Produser eksekutif Nussa, Angga Dwimas Sasongko (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Lantaran tudingan tidak berdasar tersebut, Densi laksana tong kosong berbunyi nyaring. Namun, bukan Densi namanya jika menyentil sesuatu dengan didasari fakta dan data. Kalaupun sadar data dan fakta, kadang tersuguh dari sumber yang sesuai dengan keinginan sendiri dan ditafsir semau jidat sendiri.

Kedua, baju Nussa menggunakan model gurun pasir. Naga-naganya Densi mengidap islamofobia level kronis. Tidak apa-apa, itu hak personal Densi untuk suka atau tidak pada sesuatu. Hanya saja, menilai seseorang dari busana yang digunakan adalah kekeliruan mendasar dari kebebasan berpendapat.

Jika kita menghendaki kebebasan orang lain menggunakan busana sesuai keinginannya, tentu jelas sekali bahwa otak Densi agak sengklek, sedikit bergeser dari tempat semestinya. Mau pakai singlet atau baju koko, itu hak orang. Mau pakai kerudung atau jilbab, itu hak orang. Mau pakai sarung atau celana cingkrang, itu hak orang. Setiap orang merdeka atas pakaian pilihannya.

Lagi pula, apa yang keliru dari pakaian model gurun pasir? Tidak ada. Kalau Densi mau konsisten soal busana yang tidak mencerminkan budaya Nusantara, mestinya beliau juga mengkritik gaya berpakaian peserta kontes-kontes kecantikan. Namun, bukan itu esensinya. Ada hal esensial yang mesti dipertegas oleh Densi.

Bagaimana model busana yang sesuai dengan budaya Nusantara? Benarkah sarungan itu adat Nusantara? Apakah semua suku di Indonesia sama rata memakai sarung? Jika benar, sarung corak apa yang dapat didaulat sebagai sarung gaya Nusantara?

Ketiga, jangan jadi jembatan propaganda. Kritik itu sudah mengarah pada tuduhan serius. Ya, tuduhan yang ditujukan pada pekerja kreatif di balik film animasi Nussa. Sayang sekali, Densi bak kakek tua yang doyan mengulang-ulang sesuatu tanpa fondasi kritik yang tegas.

Propaganda apa yang Densi maksud? Baju koko justru merupakan adaptasi busana yang keren. Peci atau kopiah malahan bukan gaya berbusana dari kawasan gurun pasir. Songkok justru lebih dikenal di Nusantara alih-alih di bilangan Timur Tengah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline