Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Trik Moncer Mengemas Dialog dan Narasi

Diperbarui: 5 April 2021   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salindia pembukaan trik mengemas dialog dan narasi. (Dokumen Olah Pribadi)

Tahukah Anda definisi percakapan dan dialog? Saya percaya, Anda cukup cerdas sehingga mustahil Anda menganggap percakapan dan dialog adalah hal, keadaan, atau peristiwa yang sama. Saya percaya bahwa Anda mampu membedakan antara dialog dan percakapan.

Sebelum Anda terjun bebas ke kancah kepengarangan, ada baiknya Anda kunjungi artikel Menyisir Dialog dalam Cerita. Siapa tahu bisa menambah bekal tualang Anda.

Kita lanjut lagi, ya. Percakapan dan dialog tidaklah sama. Dua hal itu berbeda. Sangat jauh berbeda. Percakapan kita gunakan sehari-hari saat berkomunikasi dengan orang lain, sedangkan dialog kita gunakan sebagai medium pertunjukan saat menulis cerita.

apakah percakapan itu? (Dokumen Olah Pribadi)

Silakan perhatikan contoh percakapan di bawah ini.

"Apa kabar, Naya?" tanya Segara.

"Kabar baik, Segara. Kamu?" 

"Kamu sudah menikah?" tanya Segara lagi.

Naya menjawab ketus. "Sudah. Akhirnya aku menemukan lelaki yang tidak sejahat kamu. Kamu sudah menikah? Sudah berapa anakmu?"

"Sudah dua," jawab Segara.

Contoh di atas adalah percakapan dua orang yang dulu saling mencintai dan berpisah karena sebab tertentu. Sekarang mari kita tengok definisi sederhana dialog.

Penjelasan lebih jauh soal dialog. (Dokumen Olah Pribadi)

Berdasarkan pengertian sederhana dialog, yakni sebagai medium pertunjukan yang kita gunakan dalam menyusun cerita, mari kita ubah percakapan di atas.

Segara mematung. Mulutnya terkatup. Ia kucek-kucek mata dan menggumam lirih. "Naya...."

Nayanika melengos. Pundaknya berguncang-guncang. "Kenapa aku harus bertemu denganmu di sini?" Suaranya bergetar. Giginya bergemeletuk. "Bajingan!"

"Ma-maafkan a-aku." Segara tergagap-gagap. Ia ingin memeluk Nayanika, memohon permaafan, tetapi sendi lututnya goyah. "A-ku...."

"Sudahlah!"

Berbeda, bukan? Saya sengaja menaja dialog dan narasi di atas secara sederhana, seadanya dulu, sekadar untuk menunjukkan bahwa percakapan dan dialog merupakan dua hal berbeda.  

Begini, Kawan. Percakapan sehari-hari bisa agak membosankan, membosankan, atau sangat membosankan sampai-sampai kita ingin segera mengakhirinya. Dialog? Tidak bisa begitu. Ya, dialog tidak boleh membosankan sebab ia bagian dari bangunan cerita.

Itu sebabnya menulis cerita, entah cerpen entah novel, sama-sama membutuhkan keterampilan mengolah dialog dan narasi. Dalam hal penempatan, pengarang mesti cekatan dalam memilih kapan harus narasi, kapan mesti dialog, dan kapan mesti penggabungan dua pola deskripsi itu.

Penataan dialog dan narasi sebenarnya bisa dipelajari, sebab bukan sejenis wangsit yang hanya dapat kita terima atas belas kasihan semesta. Lantaran dapat dipelajari berarti ada cara untuk mempelajarinya, ada jalan untuk mempraktikkannya, dan ada teknik untuk mematangkannya.

Mana yang lebih penting antara dialog dan narasi? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline