Matahari rebah ke barat ketika saya menginjak pelataran warkop Kang Mamat. Dua orang tengah asyik berpolitik, bersaing mengatur sebuah kerajaan di papan catur, serta bekerja tanpa kata menggerakkan bidak dan perwira. Dua orang lainnya sibuk baku debat. Adapun Kang Mamat, barista plus pramusaji, cengar-cengir menyambut kedatangan saya.
Tatkala meletakkan gelas kopi, Kang Mamat langsung menodong saya dengan pertanyaan yang menohok. "Daeng anggota NU atau Muhammadiyah?"
Saya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Kebiasaan yang taklazim saya lakukan. Orang-orang yang sering nongkrong di warkop Kang Mamat tahu benar bahwa saya suka ceplas-ceplos. Kali ini saya menahan diri agar tidak spontan menjawab. Saya takut jebakan betmen.
Kang Mamat tidak membiarkan saya leluasa bernapas. Ia kembali bertanya. "Benarkah NU dan Muhammadiyah itu berbeda?"
Dua orang yang tengah asyik menunggang kuda dan mengarak pion serentak berhenti. Dua orang yang tengah sibuk berdebat mendadak berhenti. Lima pasang mata tertuju kepada saya. Lima pasang mata itu bersinar laksana mata jaksa menuntut jawaban terdakwa.
Tidak ingin berpanjang lebar mendaras perkara kunut dan tidak kunut, berapa jumlah rakaat salat tarawih, atau doa iftitah mana yang paling tepat, saya mencari jalan jawab yang lain. Tidak. Saya tidak ingin berputar-putar dalam kitaran perbedaan. Saya lebih ingin hanyut dalam pusaran persamaan.
Saya paham bahwa ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, tetapi saya juga tahu bahwa banyak persamaan di antara dua ormas tersebut. Perbedaan itu sangat berasa di tataran akar rumput. Perbedaan yang sesekali memantik percik sengkarut. Malahan, telingkah tidak perlu.
Lalu terlintas satu kejadian yang mengendap di ingatan pendek saya.
Syahdan, begitu ujar saya membuka selantun kisah, suatu ketika Buya Hamka dan Kiai Idham Chalid sekapal saat perjalanan haji ke Mekah. Dua ulama karismatik tersebut adalah tokoh besar dua ormas Islam di Indonesia. Buya Hamka petinggi Muhammadiyah, sedangkan Kiai Idham pemuka NU.
Pada Subuh pertama dalam perjalanan, Kiai Idham memimpin jemaah. Praktik membaca doa kunut pada rakaat kedua sontak beliau tinggalkan. Seusai salat, beliau menjawab kegelisahan makmum dari kalangan NU yang merasa janggal karena Kiai Idham tidak berkunut.
Kiai Idham bertutur dengan lembut. "Saya tidak membaca kunut karena saya tahu di belakang saya ada Buya Hamka. Kita semua tahu bahwa beliau tidak berkunut. Saya tidak mau memaksa orang yang tidak berkunut agar ikut membaca kunut," tutur beliau.
Keesokan harinya, giliran Buya Hamka yang mengimami salat Subuh. Ndilalah, beliau yang lazim tidak membaca kunut sesudah iktidal pada rakat kedua salat Subuh, kali ini membaca doa kunut dengan fasih dan lancar. Jemaah pun bertanya-tanya.