Kacau. Hari masih pagi, saya sudah meradang. Gara-gara cuitan @Acuantodaycom di Twitter, saya terpangah. Senin pagi yang seharusnya saya awali dengan gelegar semangat, mendadak muram. Hati saya memberontak. Batin lembut saya tiba-tiba membangkang.
Menteri Kesehatan Agus Terawan Putranto optimistis gangguan jiwa atau autisme yang diderita seseorang bisa disembuhkan secara cepat, sepanjang ada intervensi medis yang inovatif.
Begitu kalimat utuh cuitan akun tersebut. Cuitan itu tayang pada Sabtu (12/12/2020). Sebuah video yang merekam kunjungan Menteri Kesehatan ke Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang (Jumat, 11/12/2020) menyertai cuitan itu.
Mengapa saya meradang? Bagian "gangguan jiwa atau autisme" pemantiknya. Selain menandai pilihan, kata penghubung atau juga mengandung makna menyamakan. Jika mengacu pada isi kalimat, penggunaan atau dalam cuitan di atas bisa bermakna gangguan jiwa sama dengan autisme. Ini berabe. Salah kaprah. Berbahaya.
Berabe lantaran sosok yang dikutip pernyataannya oleh Administratur akun @Acuantodaycom adalah seorang menteri. Salah kaprah karena yang mengeluarkan pernyataan tersebut adalah Menteri Kesehatan. Dapat Anda bayangkan alangkah berbahaya pernyataan sedemikian apabila muncrat dari sepasang bibir seorang menteri.
Ah, sudahlah. Tidak perlu terlalu lama kita bayangkan.
Istilah autisme sendiri bukan sesuatu yang baru. Bahasa Indonesia menyerap autisme dari kata autism dalam bahasa Inggris sejak KBBI III. Setelah dilaraskan dengan kaidah penyerapan, yakni akhiran --ism dibubuhi huruf /e/, autism diserap menjadi autisme.
Jika merujuk pada kamus Merriam-Webbster Collegiate (2003), arti autisme adalah gangguan perkembangan mental yang muncul pada balita yang dicirikan oleh kesulitan menjalin dan memelihara hubungan sosial, gangguan kemampuan berkomunikasi, pola perilaku berulang, serta minat dan aktivitas yang terbatas.
Dalam KBBI III, orang atau sifat yang berkaitan dengan autisme disebut autistik. Kata itu merupakan turunan dari autisme yang diserap dari kata autistic. Sementara itu, dalam ragam cakapan pengguna bahasa Indonesia kerap memakai autis (dalam bahasa Inggris autist) untuk merujuk pada penderita autisme.
Kalau kita mau serius memahami makna kata, gangguan tidak serupa dengan penyakit. Orang yang mengalami gangguan tertentu belum tentu berada dalam keadaan sakit. Dengan kata lain, autisme adalah gangguan perkembangan mental. Bukan penyakit perkembangan mental.
Sebagai pengampu di kementerian yang mengurusi kesehatan warga negara, Pak Terawan mesti berhati-hati mengeluarkan pernyataan. Dampaknya besar. Menyatakan bahwa autisme dapat disembuhkan berarti memberikan harapan semu bagi anak-anak dan orangtua dari anak-anak autistik.
Bahwa ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk membantu anak-anak autistik agar dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan sehari-hari, itu benar. Namun, menyatakan bahwa autisme bisa disembuhkan berarti "meniupkan angin harapan". Selain itu, menyetarakan gangguan dengan penyakit karena ternyata autisme bisa disembuhkan.
Bayangkan perasaan anak-anak autistik apabila mereka dirisak oleh teman sepantaran. Kamu sakit, ya? Kenapa pertumbuhan otakmu berbeda dengan kami? Kenapa kamu melakukan gerakan berulang-ulang? Mengapa kamu enggan menatap mataku? Makanya berobat kalau sakit.