Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Mencipta Tokoh Cerita yang Segar dan Hidup

Diperbarui: 4 Oktober 2020   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Olah Pribadi

Mendengar Binar memilih Getas membuatku ingin mengunyah batu.

Apa yang Anda dapatkan setelah membaca paragraf pembuka dengan kalimat tunggal di atas? Ada kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan. Kalimat tersebut menguraikan "mengapa" sebagai alasan seorang tokoh melakukan sesuatu. Apa yang akan dilakukan oleh "sang aku"? Ingin mengunyah batu.

Ketika seorang prosais, cerpenis ataupun novelis, menaja narasi acapkali terpaku pada karakter fisik tokoh. Mereka rata-rata abai pada kondisi psikologis tokoh. Seakan-akan tokoh yang mereka ciptakan sebatas manekin tak bernyawa. Dikasih pakaian, lalu dipajang.

Padahal, pembaca mengangankan dan menginginkan curahan emosi. Bandingkan jika kalimat tunggal dalam pembuka di atas saya tukar menjadi seperti ini.

Aku mudah terluka. Gampang sekali sakit hati. Begitu mendengar perempuan yang kucintai memilih lelaki lain, aku kecewa. Binar memilih Getas. Aku terpukul. Marah.

Kalimat pengganti di atas sebenarnya cukup bagus. Deskripsi batin tokoh juga tergambar. Namun, ada lubang penokohan yang menganga tanpa kita sadari. Kurang kuat. Intensinya lemah. Bahkan andai si tokoh adalah sosok yang lemah tak berdaya, niscaya ada hasrat memberontak setidaknya tatkala ia sendirian.

Nah, hasrat memberontak itulah yang terlihat jelas dalam paragraf pembuka pada artikel ini. Maka dari itu, terus pantengi tulisan ini hingga rampung. Saya akan berbagi cara tentang bagaimana mencipta tokoh cerita yang segar dan hidup. Bukan manekin tanpa nyawa.

Dokumen Olah Pribadi

Segelintir prosais membiasakan diri mengungkap karakter fisik tokoh saja. Mereka bermain-main di rambut, mata, hidung, pinggang, atau kaki. Tubuh ramping, misalnya. Rambut lurus tergerai, misalnya lagi. Lebih celaka lagi, sebagian kecil cerpenis memborong karakter fisik itu dalam satu paragraf.

Saya tidak mengatakan bahwa laku sedemikian ilegal, tidak. Sayang saja. Bahkan dalam menulis fiksi pun kita mesti pintar hitung-hitungan. Jika membeli tunai membuat kita keteteran, apa susahnya mengangsur pembayaran. Seperti itu pula saat kita menciptakan tokoh. Cicil karakter fisik ke dalam beberapa paragraf.

Camkan! Karakter fisik bukan sekadar membabar gambaran tokoh, melainkan sekaligus citra benda-benda yang ada di sekitar tokoh. Bagaimana si tokoh memperbaiki tali sepatu yang terurai, cara sang tokoh meregangkan pundak dan leher, atau memainkan ujung baju ketika sedang gugup.

Tokoh yang segar dan hidup pasti punya gaya dan kebiasaan unik. Ada yang gemar memeluk lutut kala dicecar duka, ada yang suka meninju tembok tatkala merasa sangat kecewa. Ada yang megap-megap jika menahan marah, ada yang menangis tanpa suara ketika berduka.

Dokumen Olah Pribadi

Sekarang kita tinggalkan dulu karakter fisik. Agar tokoh rekaan kita berasa segar dan hidup, tiupkan roh emosional ke dalam tubuhnya. Bentuk jiwanya. Bangun suasana batinnya. Beri ruang bagi deskripsi pengalaman batin sang tokoh. Perhatikan contoh berikut.

River tidak pernah sehisteris ini. Biasanya ia hanya tersenyum jika menerima hadiah. Itu pun sekilas. Lalu, memainkan kancing baju. Diam. Lalu, menunduk dalam-dalam seperti mencari seekor semut di lantai. Kali ini tidak. Ia tertawa. Melonjak girang. Matanya seperti meloncat ke luar dari pelupuknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline