Benar kata orang-orang. Korona bisa menghentikan apa saja, kecuali Pilkada. Jangankan sekolah dan kantor, ibadah kepada Tuhan saja bisa korona hentikan. Jangankan pasar, mal saja tutup. Namun, kehebatan korona runtuh di hadapan Pilkada Serentak 2020.
Empat Sekawan dengan empat karakter berbeda tengah serius memelototi televisi. Saya takjub melihat mereka. Dalam segala hal menunjukkan ciri-ciri yang bertolak belakang, tetapi keakuran mereka sungguh mengagumkan.
Warga Dukuh Bunga Cita mudah ditebak. Iman, misalnya. Adiknya meninggal setelah terpapar korona. Tanpa gejala, tahu-tahu tepar. Tiga hari di karantina, tahu-tahu mengembuskan napas terakhir.
Sewaktu adiknya meninggal, jangan coba-coba membicarakan Pilkada di depannya. Begitu selamatan tujuh harian berlalu, ia berubah haluan. Dulu tegas sekarang abu-abu. Andai saja Iman tampil ditelevisi, ia kira-kira mirip dengan Pak Ngabalin.
Kalau kamu mau bebas berbicara tentang Pilkada, silakan sesumbar di depan Amin. Ia pasti senang-senang saja. Itu karena dia manusia super. Diminta perbaiki genting bisa, disuruh gali parit bisa, diupah menandur di sawah juga bisa. Ia tipe orang seperti Pak Luhut, jadi menteri apa saja bisa.
Kota Sukaduka Kolektiva harus punya Wali Kota dan Wakil Wali Kota baru. Begitu seruan Gubernur di televisi. Masyarakat berteriak di mana-mana. Opini di surat kabar penuh dengan permintaan penundaan. Tagar penolakan ganti-berganti di media sosial.
Hanya saja, Gubernur dan seluruh jajaran tampaknya sudah mengganti telinga mereka dengan kuping kuali. Pekak. Takpeka. Dua organisasi keagamaan terbesar di Kota Sukaduka juga menyerukan agar Pilkada ditunda. Percuma. Tiada guna. Kuping kuali sudah membatu.
Mata Iman dan Amin terpacak di layar televisi. Baru saja Gubernur diwawancarai. Katanya, ada paslon di kabupaten tetangga yang sempat ditengarai positif korona dan hari ini dinyatakan negatif. Iman curiga. Jangan-jangan alat tes usap punya saku yang menghadap ke atas. Artinya, amplop bisa disuapkan ke saku itu.
Kamu tahu, tilikan pelanggan warkop berbeda kelas dengan amatan komentator di televisi. Kritikan Imun di warkop Kang Mamat ibarat panggang dan api dibanding kritikan Pak Fahri di televisi. Padahal, Imun juga pernah menerima Anugerah Warga Naratama Kota Sukaduka.
Lain lagi dengan Muin. Ia tipe bendera. Ke mana angin bertiup ke sana dia berkibar. Peragu. Saat Iman bilang pilkada harus ditunda, ia kepalkan tangan. Ketika Amin mengatakan pilkada diteruskan saja, ia kepalkan tangan. Gelarnya saja Manusia Paling Plinplan Abad Ini. Di dalam setuju, di luar berontak.
Telingkah mereka terhenti manakala Kang Mamat datang bersama empat gelas kopi. Itu kode keras. Kang Mamat ingin memastikan agar para pelanggan tahu bahwa ini kedai kopi, bukan warung gibah. Empat Sekawan melongo. Saya terkikik-kikik.
Semua mata sontak terpaku ke wajah saya. Mereka seolah-olah berkata "kenapa kamu tertawa", sejurus kemudian berkata "tidak ada yang lucu". Akan tetapi, saya penganut paham masa bodoh. Situ marah, silakan. Situ tersinggung, silakan. Saya tidak mau dan tidak mampu mengatur-atur perasaan orang lain.