PSBB Jilid Dua. Tetangga-tetangga saya kecele. Rasa cemas seketika menggusur rasa bahagia. Baru beberapa minggu mengecap lezat bekerja di kantor, mendadak harus mendekam di rumah. Warkop Kang Mamat kembali banjir pelanggan.
Namanya Riswan. Ia karyawan perusahaan swasta di Jakarta. Setiap pagi, sebelum PSBB Jilid 2 diterapkan di Jakarta, klakson motornya mengguncang telinga saya. Cerah sekali matanya. Pagi ini, sekawanan awan hitam menggelayuti mata cerah itu.
Sambil mengaduk-aduk kopi ia bertanya kepada saya, "Daeng, bagaimana caranya agar saya tenang bekerja di rumah?"
Sendu di matanya pindah ke permukaan kopi.
Bagi saya, itu pertanyaan yang sangat berat. Nyaris sepanjang hayat, dari lahir hingga sekarang, saya tidak pernah dibebat rutinitas berkantor. Tiap hari saya di rumah. Menulis. Membaca. Menata buku. Menonton drakor. Menulis. Membaca. Menata buku. Menonton drakor. Begitu selalu.
Tidaklah heran apabila saya kelimpungan ditodong pertanyaan "resep merasa tenang dan senang bekerja di rumah". Semula saya hendak menjawab selengean dengan kalimat "karena saya tidak punya kantor seperti Anda", tetapi saya takut celetukan saya justru memberati pikirannya.
Bukan hanya Riswan. Ada Eddy, Tarkim, David, dan Roman. Lima orang lagi saya tidak kenal nama, tetapi tahu muka.
Semuanya pekerja kantoran. Semuanya tua di jalan. Semuanya sering bertukar keluh tentang macet, polusi, jarang bertemu anak, susah kelonan dengan istri, dan blablabla saat pandemi korona belum tiba.
Pagi ini, pada Sabtu dengan langit secerah mata saya, mereka seperti bocah lima tahun yang sedih karena kehabisan gundu. Mendadak benak saya dipenuhi ingatan tentang dampak psikologis korona bagi orang-orang yang mendadak "dirumahkan". Maksud saya, mesti bekerja di rumah.
Tarkim, tenaga pemasaran di perusahaan air mineral ternama, mengaku depresi. Ia mulai cemas. Target susah terpenuhi. Tekanan atasan datang bertubi-tubi. Namun, tidak satu pun jalan keluar yang dapat ia tempuh untuk mendongkrak penjualan.
Saya pamit sejenak, kembali ke rumah, secepat kilat mengetik dan mencetak 12 pertanyaan, raup pulpen banyak-banyak, lalu kembali ke Warkop Kang Mamat. Saya bagikan kertas-kertas itu kepada mereka. Masing-masing mendapat satu. Mereka sudah lama mengenal saya, sudah tahu siapa saya, dan sepertinya bisa menerka apa yang hendak saya lakukan.