Judul macam apa itu? Judul tulisanmu tuna gramatikal. Cacat leksikal. Yang menulis pasti penulis, bukan fotografer. Yang dihasilkan fotografer pasti foto, bukan tulisan. Judul tulisanmu sangat mengada-ada. Orang lain pakai angka, kamu pakai kata. Penjudulan macam apa itu? Sungguh terlalu!
Lo, tunggu dulu. Matahari belum tepat di atas ubun-ubun kamu sudah misuh-misuh. Saya tidak mengada-ada. Saya tegaskan, ya, penulis dalam menulis bisa menjiplak taktik yang digunakan fotografer saat memotret. Ketika menjepret sesuatu, fotografer punya mata setajam elang dan naluri sejitu singa. Penulis butuh itu.
Soal penggunaan angka? Ya, ini gaya saya. Biarkan saja penulis lain memakai angka. Itu hak prerogatif mereka. Saya memakai kata biar renyah baca saja. Saya mencoba pola aliterasi atau 'pengulangan bunyi konsonan /t/ pada kata tiga dan trik'. Saya juga berusaha konsisten untuk tidak memajang angka pada awal kalimat.
Baiklah, saya mencoba memahami dalih dangkalmu. Saya tahu, itu akal-akalan kamu saja. Sekarang jawab. Mengapa penulis mesti menyontek taktik fotografer?
Kawan, pena bagi penulis ibarat tustel bagi fotografer. Fungsinya serupa. Sama-sama buat menyimpan gambar. Apa iya penulis menyimpan gambar? Barangkali kamu akan menyela saya dengan pertanyaan itu. Oke. Setiap yang kita tulis sebenarnya adalah potret dari apa yang kita lihat, dengar, dan pikirkan. Tidak lebihh, tidak kurang.
Dengan demikian, menulis berarti merekam sesuatu yang kita lihat, kita dengar, atau kita pikirkan. Sesuatu itu bisa peristiwa, bisa keadaan, bisa juga perasaan. Kejelian fotografer dalam memilih sudut pandang itulah yang mesti kita colong.
Ketika peristiwa penusukan Syekh Ali Jaber terjadi, wartawan sudah tancap gas duluan mengabarkan kejadian itu. Jika saya mengudar kronologi dan kondisi psikologis penusuk, saya ketinggalan kereta. Oleh sebab itu, saya mesti meminjam mata fotografer untuk menemukan titik ulas yang berbeda.
Argumenmu tokcer dan bisa saya pahami. Akan tetapi, jangan berpuas diri. Jawab dulu pertanyaan ini. Apa taktik orisinal pertama dari seorang fotografer yang layak ditiru oleh penulis?
Langsung saja, ya. Taktik pertama, perhatikan fokus dan cahaya. Itu tamsil saja, usah kamu telan bulat-bulat. Maksud saya begini, Kawan. Potret yang keren didapat dari pengambilan sisi yang menarik dari suatu objek. Tulisan juga begitu. Penulis mesti punya mata ketujuh agar dapat menerawang sudut pandang yang sukar diteropong oleh penulis lain.
Selain itu, penulis juga wajib memperhatikan "cahaya". Taksir dengan jeli dari mana arah cahaya, seberapa kuat pengaruh cahaya pada objek, dan apa dampak cahaya itu terhadap tampilan objek. Begitulah kira-kira saya melihat fotografer bekerja. Ada roh cermat yang bermain di wilayah itu.
Fokus atas sisi gagasan yang akan kita babar merupakan modal besar dalam menaja satu tulisan. Mau fiksi mau nonfiksi sama saja. Kuasa cahaya, dalam penulisan boleh kita sebut analisis sebab, dapat menajamkan tilikan kita atas satu perkara. Hanya itu caranya agar argumen yang kita tuangkan ke dalam tulisan tampak jernih.
Alasanmu moncer, Sobat. Bolehlah saya jadikan jimat ala Rudy Gunawan. Bagaimana dengan taktik kedua?
Taktik kedua, tata kelola data. Setiap juru potret pasti punya rancang bangun objek yang akan ia jepret. Tidak asal main kutip. Harus pintar mencari objek yang wah. Harus cerdik membaca situasi agar menghasilkan foto yang megah. Harus cekatan memilih saat yang tepat untuk menghasilkan jepretan yang mewah.
Proses serupa cocok pula diterapkan ketika kita menulis. Cari data yang tepat agar tulisan kita kaya dan mengayakan. Amati sisi mana yang patut kita jabarkan supaya tulisan kita segar dan menyegarkan. Kaji semua kemungkinan demi menghasilkan tulisan yang cerah dan mencerahkan. Tidak asal tindis papan tombol laptop.