Dalam ragam lisan atau percakapan, kesalahan berbahasa tidak terlalu kentara. Ketika ngomong sesuatu kepada orang lain, tutur kata kita terbantu oleh mimik, pantomimik, gestur, dan isyarat tubuh. Perpaduan seluruh bahasa tubuh itu sudah cukup untuk membantu atau mempermudah tutur lisan.
Jika kamu kesal dalam level terbawah, kamu tinggal menunjukkan gerak air muka (mimik) yang kesal. Jika kekesalanmu makin meningkat sampai kamu ingin segera mengakhiri pembicaraan, kamu tinggal memadukan gerak air muka dengan celingak-celinguk ke sana-sini (pantomimik). Kalau kamu tidak suka dan menolak ketika ditawari sesuatu, gerakan tangan (gestur) cukup untuk menunjukkan penolakan itu.
Kemudahan dan kemewahan seperti itu tidak akan kamu dapatkan dalam ragam tulisan. Semua harus diwakili oleh kata, diterangkan lewat frasa, diungkapkan melalui klausa, dibentangkan dalam kalimat, dan dijalin dari paragraf ke paragraf. Salah memilih kata (diksi) saja berpotensi mengaburkan makna.
Saya punya pengalaman menarik soal kesalahan berbahasa dan kesewenangan memaknai. Satu ketika saya naik komuter dari Bogor ke Jakarta. Akibat letih di sepanjang perjalanan dan harus berdiri di komuter, saya memilih berjongkok. Bukan apa-apa, lutut saya sudah gemetaran. Di sisi kanan saya terpajang tulisan "dilarang duduk".
Belum seberapa menit berjongkok, seorang Polka datang menghampiri. Sambil tersenyum ramah ia berkata, "Mohon maaf, Pak, Bapak tidak baca larangan di samping Bapak?" Saya masam-mesem seperti orang yang tidak merasa bersalah, "Sudah saya baca, Pak. Dilarang duduk."
Pak Polka berbadan tegap itu membuka mulut seakan-akan ingin menyatakan sesuatu, tetapi saya langsung berkata. "Saya jongkok, Pak, bukan duduk. Duduk itu punya puluhan varian kata, intinya pantat menyentuh tanah, lantai, atau jok sesuatu. Jongkok beda, Pak."
Kalau saya tidak menyampaikannya dengan nada, irama, jeda, dan mimik, mungkin Pak Polka sudah mencak-mencak. Saat itu malah sebaliknya, beliau mengantar saya ke gerbong dengan kursi yang masih kosong. Saat saya duduk, beliau berkata, "Di sini boleh duduk, tetapi dilarang jongkok."
Gara-gara Hiperkoreksi
Apa pula arti hiperkorek yang mendadak muncul di batang tubuh artikel ini? Hiperkorek bukan famili curanrek dan sama sekali tidak punya hubungan darah dengan kelebihan korek. Tabiat orang yang sering atau suka membetulkan sesuatu yang sudah benar sehingga hasilnya malah sebaliknya disebut hiperkoreksi.
Suatu ketika saya bertukar seloroh dengan seorang kolega di dunia perbukuan. Saat itu kami membincangkan perlunya ketabahan jari dan ketahanan batin agar terhindar dari tabiat hiperkorek. Masalahnya, saya pernah mengalami sendiri.
Pada satu masa saya diminta urun artikel tentang kebangsaan dan kebahasaan, Rencananya bakal dijadikan bunga rampai guna dalam rangka memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan RI. Dalam artikel itu saya memuat maklumat Bung Hatta yang sangat masyhur, yakni Persatean Nasional. Nahasnya, ada yang mengubah Persatean Nasional menjadi Persatuan Nasional. Kontan saya meradang.