Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Kisruh Bancakan Kursi Komisaris BUMN

Diperbarui: 22 Juli 2020   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri BUMN Erick Thohir (Kompas.com/Rakhmat Nur Hakim)

Gonjang-ganjing bagi-bagi kursi basah di pelbagai BUMN tiba-tiba mengemuka. Di sisi lain, Adian Napitupulu mempertanyakan kinerja beberapa perusahaan pelat merah yang terus menangguk suntikan modal negara alih-alih menyumbang devisa.

Sebagai wakil rakyat, politikus PDI Perjuangan tersebut tengah menggunakan haknya untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perusahaan berskala nasional milik negara adalah aset besar bagi kepentingan nasional. Itulah titik tumpuk kritik keras yang diajukan Adian.

Belakangan, kebijakan Kementerian BUMN dalam mengangkat komisaris menuai banyak kritik. Jenderal TNI didaulat menjadi komisaris. Petinggi Polri dipilih menjadi komisaris. Penggawa partai politik dilantik menjadi komisaris. Relawan pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf didapuk menjadi komisaris.

Gonjang-ganjing itu lambat laun makin kencang. Menteri BUMN Erick Thohir seperti perusahaan jasa layanan titipan. Beliau menerima titipan nama dari berbagai pihak. Kementerian. Politisi. Relawan. Organisasi kemasyarakatan. Pendek kata, titipan itu bermunculan seperti jamur di musim hujan.

Harus diakui bahwa "kursi basah" komisaris BUMN memang magnet yang menggiurkan. Selain kucuran gaji besar, komisaris juga berhak atas tentiem atau bagi hasil laba perusahaan. Rapat sekali dalam seminggu, kasih nasihat ini dan itu, lantas mandi hujan duit. Sangat menjanjikan kemakmuran rekening dan kesejahteraan dapur.

Bank Mandiri, salah satu BUMN rangking atas, pada tahun buku 2019 menyediakan Rp97,82 miliar kepada delapan komisaris. Rata-rata setiap komisaris mendapat jatah tentiem sebesar Rp12,2 miliar. Hujan uang.

Dilansir Kompas.com, hal serupa terjadi di BRI. Bank yang merambah hampir seluruh pelosok nusantara, berdasarkan laporan tahunan perseroan 2019, memberikan Rp128,37 miliar kepada 10 komisaris. Rata-rata  setiap komisaris menerima sebesar Rp12,83 miliar. Hujan uang lagi.

Menyoal Titipan Nama

Mari kita berhitung. Ada 142 BUMN dan, anggap saja, 800 perusahaan anak cucu BUMN. Saya menyebut anggap saja 800 untuk mempermudah hitung-hitungan kita. Dengan demikian, peluang bancakan kursi komisaris sangat besar. Ada 942 perusahaan. Sangat banyak.

Selanjutnya, mari berandai-andai. Jikalau tiap perusahaan pelat merah itu membutuhkan 5 komisaris berarti kursi basah yang siap diduduki berjumlah 4.710 buah. Siapa yang akan duduk di sana? Bagaimana mereka duduk di sana? Apa yang mereka lakukan selaku komisaris? Apa yang berhak mereka terima sebagai komisaris?

Itu baru tiga pertanyaan yang tebersit di benak saya. Sebelumnya saya sudah mengutip soal tentiem yang berhak diterima oleh seorang komisaris. Contohnya di BRI dan Bank Mandiri. Bagaimana dengan gaji? Kalau kita pukul rata dulu Rp20 juta per orang, berarti butuh dana sebesar Rp94.200.000.000,00. Itu uang semua, bukan daun yang luruh ke tanah kering.

Komisaris BUMN jelas tidak bisa bekerja asal-asalan. Ada syarat yang mesti mereka penuhi. Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN menggariskan bahwa komisaris wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparasi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.

Tolok ukur utama adalah profesionalisme. Dengan demikian, seorang komisaris wajib memenuhi syarat berintegritas, berdedikasi, memahami masalah manajemen perusahaan, memiliki pengetahuan yang memadai atas bidang usaha, serta sanggup menyediakan waktu yang memadai bagi perusahaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline