Penulis yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai senjata dalam mencurahkan gagasan patut bersyukur. Alasannya sederhana, karena bahasa Indonesia kaya. Malah sangat kaya. Kosakata dan ungkapan akan terus bertambah lantaran bahasa selalu bertumbuh dan bertambah.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi I (KBBI I, 1988) memuat 62.100 butir masukan. KBBI II (1991) memajang sekitar 72.000 butir lema. Pada KBBI III (2008) bertambah menjadi 78.000 lema dan 2.034 peribahasa. KBBI IV (2008) dipermeriah dengan memuat hingga 90.049 lema dan sublema. Puncaknya, isi KBBI V semakin kaya dengan 127.036 lema.
Mengapa lema bahasa Indonesia bisa sedemikian kaya? Jawabannya sederhana. Kosakata kita dijala di laut lepas bernama bahasa daerah dari antero Nusantara. Bukan hanya itu, para pekamus kita juga berburu kosakata di rimba luas bernama bahasa asing dari seluruh penjuru dunia.
Mula-mula hanya susu dan tetek, kemudian hadir payudara yang kita "pukat" dari bahasa Sanskerta. Mula-mula menyeruak kata persaingan, pertandingan, atau perlombaan, lalu menyembul kata kontestasi. Itu hanya sekadar menyebut contoh.
Jika kita mau meluangkan waktu bertamasya dari lema ke lema, kita akan melongo, melengak, dan melengung. Boleh jadi menjelengar dan menyelingar. Dalam situasi digelimuni rasa takjub dan heran, kita bakal terpangah, terpegun, dan tertegun. Sembilan kata tersebut baru sebagian kecil dari variasi kata "terkejut" dalam bahasa Indonesia.
Dalam hal 'terkejut dengan mata terbuka lebar-lebar', masih ada segelintir penulis yang sangat setia pada kata membelalak. Bayangkan apabila novel setebal 400 halaman memuat kata membelalak sebanyak 30--40 kali. Padahal, bahasa Indonesia masih punya membelalang dan mencelang (jika hanya terkejut) atau membeluntang (jika terkejut dan tegang),
Manakala kita berniat menyiratkan makna 'berkata-kata dengan keras' ke dalam kalimat, kita bisa beralih ke kata membentak, menghardik, atau memaki. Kita dapat pula memilah varian kata serupa dan memilih kata yang tepat dan pas dengan konteks kalimat yang kita inginkan. Ada menyegak dan menyenggak, ada meredik dan merengus, ada mencuca dan mencura.
Ketika kita ingin mendeskripsikan karakter tokoh yang "bawel", kita bisa memilih diksi mulut rambang bagi tokoh 'yang bawel minta ampun dalam urusan penampilan'. Bagi yang 'suka mencela' kita bisa menggunakan calak, celomes, comel, cerewet, gapil mulut, atau galatak. Bahkan, ceramah. Untuk tokoh yang sering 'mengejek, menghina, atau menyindir orang lain' ada nyinyir, nyenyeh, atau mulut gatal.
Tokoh yang 'gampang mengeluh' dapat kita sebut rewel, sementara yang 'suka memotong atau menyela perkataan orang lain' kita sebut beleter atau belu belai. Khusus tokoh yang 'sering kali menyombongkan diri dengan mengagul atau membesar-besarkan' sudah kita kenal istilah berlagu (bentuk takbaku: belagu).
Semua kata di atas masih varian kata "bawel" yang seluruhnya berjumlah 39 kata. Adapun bawel hanyalah 1 (satu) dari 128 varian kata "berbicara".
Varian kata "bodoh" juga tidak sedikit. Ada 89 kata lain yang dapat kita pilih untuk menggambarkan karakter tokoh yang 'tidak mudah mengerti; tidak mudah tahu; tidak dapat mengerjakan'. Ada kata bahlul, bebal, bebel, bego, dan beloon untuk 'orang yang susah mengeri atau disuruh ke sana malah ke sini". Ada pula bambung, beloh, bongak, dogol, domot, dongok, dungu, dan pilon bagi 'orang yang susah dikasih tahu'. Jangan lupa goblok, tolol, cetek, dan jahil mukarab buat orang suka 'bodohnya tidak ketulungan'.