Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Dari Likuidasi Jokowi hingga Infrastruktur Senam

Diperbarui: 7 Juni 2019   04:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden RI, Joko Widodo, berlebaran bersama masyarakat | Foto: Akun Twitter Joko Widodo

Mahabenar netizen dengan segala komentarnya.

Kalimat di atas sengaja saya gunakan untuk membuka tulisan receh ini. Media sosial memang memberikan ruang amat lapang bagi netizen untuk berkomentar sesuka hati. Nyinyir boleh, nyenyeh pun boleh. Menggerundel bisa, menggerunyam pun bisa.

Kadang-kadang ada warganet yang seolah-olah pembuluh nyinyirnya akan meledak jika tidak cepat-cepat mencerocos. Ada pula netizen yang laksana diserang gatal tidak keruan kalau tidak buru-buru menggerutu. Akibatnya, kontrol diri dan kontrol jemari susut sampai tandas.

Warganet yang kehilangan kontrol jemari itu lantas bergumam semau-maunya. Ada yang tersulut pendapat elite, ada yang terbakar pernyataan tokoh, ada juga yang terpanggang guyonan pesohor. Singkat kata, rupa-rupa pemicunya.

Banyak celoteh warganet yang nyeleneh, tidak sedikit pula yang nyelekit. Banyak yang tampak pintar bukan main, tidak sedikit pula yang terlihat bodoh luar biasa. Pendek kata, macam-macam lagaknya.

Ramadan 1440 H, yang baru saja berlalu, sesekali riuh oleh gelak tawa. Suasana kocak tercipta gara-gara komentar netizen yang sok merasa paling benar. Tidak heran apabila ledekan "mahabenar netizen" gencar digunakan.

Likuidasi Jokowi
Pilpres 2019 sangat mujarab dalam memantik hasrat gegabah. Puncak dari rentetan dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif adalah munculnya keinginan untuk menggugurkan hak salah satu paslon pilpres.

Entah amat cerdas entah sangat pandir, seorang tokoh berseru lantang agar Paslon 01 dicabut haknya sebagai peserta pilpres. Tokoh tersebut menuntut supaya Bawaslu melikuidasi Jokowi. Videonya sempat viral.

Seseorang di dalam video tersebut menceletukkan kata diskualifikasi untuk membenarkan. Alih-alih mengaku keliru, si tokoh malah ngeyel. Sudah salah ngotot pula. Si tokoh berkata, "Likuidasi yang paling tinggi!"

Sebagai pencinta bahasa Indonesia, saya terkakah-kakah. Saya makin terkakak-kakak karena kekeliruan itu dipungkasi teriakan takbir. Ajaib, kan? Tokoh yang keliru kata malah disambut takbir. Pengagungan Tuhan lewat takbir digunakan secara serampangan dan sembarangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline