Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Filosofi Dungu

Diperbarui: 26 Mei 2019   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Engkos berteduh sejenak di bawah rindang pohon cempedak. Senjatanya, sapu bertangkai panjang dan pengki plastik bergagang aluminium, ia letakkan di atas rumput. Tunai sudah ibadahnya selama enam jam bersama serakan sampah.

Matahari di atas pucuk cempedak menyisakan bayang-bayang. Deru kendaraan bersaing memasuki kuping, derum gas dan decit rem ikut meruyak gendang telinga, dan sahut-sahutan klakson sungguh memekakkan pendengaran. Desa Sukatawa selalu bising dan riuh. Orang-orang seperti kerasukan setan membelah jalan.

Engkos membiarkan angin mengeringkan peluhnya. Kelopak matanya memberat. Kantuk yang selama beberapa hari seolah tak mengenalnya, mendadak akrab dan sok dekat. Setelah merasa tubuhnya lebih segar, ia berdiri dan meraih kedua senjatanya.

Tidak ada yang segigih kopi untuk mengusik dan mengusir kantuk. Pikirnya. Ia berjalan sambil bersiul-siul, menyapa siapa saja yang berpapasan dengannya, melambaikan tangan kepada Encum--pemilik kedai kecil di tepi jalan utama Dukuh Doyankata, dan kembali meneruskan siulannya.

Hanya ada satu warung kopi di Dukuh Doyankata. Di situlah Engkos sering melepas penat selepas enam jam berdinas di jalanan sebagai petugas Sapubersih. Di situ pula ia kerap bercengkerama dengan penduduk Dukuh Doyankata.

Belum ada siapa-siapa di warung kopi Kang Mamat. Hanya ada senyum lontong, cengar-cengir tempe goreng, tahu isi yang cengengesan, kue bolu kering yang peringisan, gelak emping, dan seringai gelas bertelinga yang minta segera dituangi kopi.

"Kopi?" tanya Mamat tanpa menoleh.

Engkos menggeletakkan kedua senjatanya di bawah bangku panjang. "Hitam pekat, Kang."

"Sehitam dan sepekat nasib cintamu?" Mamat tergelak sambil membolak-balik pisang di wajan. 

Bohlam di atas kepala Mamat berkedip-kedip. Cangkangnya tampak agak longgar dari dudukannya yang sudah menjuntai di eternit dan memperlihatkan kabel warna-warni.

Sambil mendengkus, Engkos mencomot tempe goreng dan mencocolkannya ke sambal korek yang warnanya seperti pipi gadis yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Cengar-cengir tempe goreng itu seketika sirna, seakan-akan ia menyadari bahwa kematiannya sudah di depan mata. Benar saja. Hanya dalam dua kali gigit, tempe goreng itu sudah menyesaki mulut Engkos.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline