Saya tepekur di hadapan setumpuk pakaian yang minta dibersihkan. Saya katakan kepada mereka bahwa kepala saya juga ingin dibersihkan. Pikiran-pikiran buruk dan busuk melekat hampir di seluruh dinding otak. Tidak hanya merusak pemandangan, tetapi sekaligus mengganggu perilaku.
Selembar kemeja kotor merajuk. "Gara-gara kamu aku jadi sekotor ini!"
Saya berpaling dan meringis. Dada saya bagai ditumbuk kapuk sekarung. Rasa ngilu menggelayar di bawah permukaan kulit, persis seperti saat tulang kering yang tanpa sengaja mencium kaki meja.
Pakaian-pakaian itu kompak menggerundel. Saya teringat koor dengan suara-suara yang tidak padu dan laras. Telinga saya mendesing. Saya tutup telinga agar suara-suara sumbang itu hanya mengambang di udara, tetapi suara-suara itu telanjur menggema di dalam kepala.
"Ingatlah jasaku," raung sebuah cawat dengan mulut berbau apak dan amis, "telah kututupi aib dan kemaluanmu!"
Sebuah singlet tidak mau kalah. "Tega sekali kamu membiarkan tubuhku dijajah bau ketekmu!"
Bacin dan anyir kaus kaki menguar. "Belum cukupkah lubang menganga ini kamu hadiahkan untukku?"
Saya menoleh dan hampir-hampir tergelak. Saya tinggalkan gerutuan mereka. Dinding kamar mandi saya tutup rapat-rapat. Decur air dari keran mengubur suara-suara pengeluh. Saya sengaja berlama-lama di kamar mandi. Luluran, cukur kumis dan bulu ketiak, menggosok kaki dan menyikat telapak, membersihkan lidah dari kerak kata-kata kotor, menyampoi rambut agar ketombe dosa berkurang, dan bohlam padam.
"Nyalakan lampu!"
Tidak ada jawaban. Bohlam belum menyala. Saya segerakan mandi lalu buru-buru meraih handuk.
"Aku masih kotor, Rapi!"