Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Menanyakan dan Mempertanyakan Nasib Bahasa Daerah

Diperbarui: 12 November 2018   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saut Poltak Tambunan (sastrawan, kiri), Rahmat Taufiq Hidayat (Yayasan Rancage), Free Harty (Kritikus), dan Lucya Damayanti (Perpusnas RI) sedang mengisi temu wicara tentang bahasa daerah pada Rabu, 7 November 2018, di Perpusnas RI. [Foto: Kurnia Effendi)

Rabu, 7 November 2018. Matahari tengah bersembunyi di balik segulung awan. Rintik-rintik hujan sesekali diderau angin dan menyapa kepala, tetapi sebuah acara sudah menanti-nanti. 

Pukul setengah delapan pagi. Bagi saya, itu waktu paling cepat untuk meninggalkan rumah.

Setiba di stasiun, orang-orang berdiri menunggu kereta seperti sekawanan semut yang amat bersemangat mengangkat sebutir gula pasir. Dengan berat hati saya seret kaki ke dalam kereta, karena waktu kian mepet. Di dalam kereta, orang-orang berimpitan seperti teri yang dijejalkan ke dalam peti.

Meskipun melewati perjalanan menyesakkan hingga Stasiun Manggarai, hasrat saya tidak surut sedikit pun. Dorong-mendorong, desak-mendesak, dan tukar-menukar aroma ketek mengindahkan perjalanan. 

Di luar stasiun, odar (ojek daring; bukan ojol atau ojek online karena bahasanya gado-gado kayak anak Jaksel) sudah menunggu. Pengemudi lincah meliuk di sela kendaraan, mengantar saya melintasi jalan padat menuju Perpustakaan Nasional RI di bilangan Gambir.

Kurnia Effendi membaca puisi berbahasa Tegal. [Sumber Foto: Saut Poltak Tambunan]

Mencari Ahli Waris Bahasa Daerah

Saya agak telat tiba di lokasi acara. Empat pemusik dari Batak sudah beraksi di panggung. Meski begitu, saya berusaha memaafkan diri sendiri yang kasip menghadiri sebuah helat.

Kini saya sudah berada di tempat kegiatan yang menggemaskan sekaligus mengenaskan. 

Menggemaskan karena masih ada sekelompok orang yang peduli pada bahasa ibu atau bahasa daerah di tengah hiruk-pikuk Jakarta. Mengenaskan karena para penghadir rata-rata "golongan putih" alias "orang-orang yang sudah memasuki wilayah uzur".

Cemas kontan menempelak benak saya.

Batin saya menanyakan sesuatu: adakah bahasa daerah hanya memikat orang-orang tua yang merindukan masa kanak mereka? Batin saya mempertanyakan sesuatu: apakah tidak ada inovasi baru agar anak-anak milenial terpikat pada bahasa daerah?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline