Hidup Demokrasi. Penjara tidak akan membuat saya jera. Dunia melihat apa yang terjadi di sini. Soeharto akan memetik buah dari pohon diktator yang ia tanam.
Empat kalimat itu diteriakkan berkali-kali, dengan suara lantang, oleh Budiman Sudjatmiko dalam sebuah video pendek yang gencar beredar di dunia maya. Generasi Z yang lahir sekisar 1995-2010 akhirnya mengenal aktivis yang dulu kerap mengepalkan tinju tangan kirinya.
Video itu menayangkan cuplikan persidangan, pleidoi tersangka, dan suasana ketika si tersangka digelandang ke dalam mobil untuk dibawa ke LP Cipinang. Durasi boleh singkat, tetapi senyum Budiman dan gayanya membaca pembelaan lekat dalam ingatan.
Bukan hanya itu. Ekspresi Hakim Ketua yang terlihat kesal dan dongkol, tampak dari mulut yang terkatup rapat dan palu sidang yang diketukkan berulang-ulang, juga menjadi pemandangan epik dalam video tersebut. Apalagi gaya "unik nan elegan" Budiman yang sering memunggungi Pak Hakim dan menghadap ke arah penyaksi sidang, seakan-akan pleidoi yang ia baca persis naskah orasi belaka.
Kala itu usianya baru 26 tahun, tetapi nyalinya seperti tidak mengenal rasa takut. Dalam balutan kemeja putih berlengan pendek, celana hitam, dan ikat kepala merah, sosoknya rajin menghiasi koran pada kisaran 1994-1998.
Akibat sepak terjangnya menentang kelaliman Panglima Orde Baru, Presiden Soeharto, ia didapuk menjadi "buronan nomor satu". Siapa pun tahu, Pak Harto tidak tanggung-tanggung dalam menyikapi "para pembangkang".
Akan tetapi, saya mengenal Budiman bukan dari video tersebut. Kiprah lelaki berkacamata dan berambut agak ikal itu sudah saya ketahui semenjak saya masih remaja. Saya mengikuti sepak terjang lelaki kelahiran 10 Maret 1970 sejak awal 1990-an.
Meskipun jauh dari Jakarta, kabar tentang gerakan perlawanan menentang Orde Baru gencar di telinga. Sebelum hijrah ke Jakarta pada pertengahan Agustus 1997 pun saya kian kerap mengikuti kiprah "singa podium" kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, yang mahir berorasi itu.
Berita tentang peristiwa Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996, juga marak menghiasi media massa. Adalah Budiman dan konco-konconya di Partai Rakyat Demoratik (PRD) yang kemudian dituding selaku dalang di balik peristiwa perebutan kantor DPP PDI di Jln. Diponegoro Jakarta.
Di bawah todongan tujuh pistol, dengan mata yang tertutup kain hitam, dan kemeja yang dipereteli petugas, ia dan kawan-kawannya "diamankan". Istilah ini memang marak pada era Orde Baru. Padahal, sebenarnya Budiman digelandang ke sebuah tempat untuk diinterogasi.