Orang-orang memenuhi stadion. Orang-orang bernyanyi-nyanyi. Orang-orang merindukan prestasi. Semua memburu satu kata: sukses.
Kata itu, jika ditilik dari kehidupan sehari-hari, lazim ditandai dengan rumah megah, uang meruah, mobil mewah, dan takaran lain yang ditisik dari harta belaka. Apabila ditinjau dari sudut kompetisi, biasanya kata sukses ditandai dengan piala, medali, atau gelar juara.
Orang-orang membenci kata gagal, kesulitan, jalan buntu, apalagi jatuh pailit. Mereka hanya tahu satu kata: sukses. Kepala mereka dipenuhi kalimat "akan kubuktikan bahwa aku mampu". Mereka benar-benar militan dalam memburu sukses, namun cengeng tatkala gagal memeluk sukses.
Sebagian dari yang gagal itu mengusir Si Putus Asa dari pikiran dan perasaan mereka, menyadari dan memahami bahwa semua hal butuh proses, maklum bahwa jatuh sekali--bahkan berkali-kali--tidak akan mematahkan semangat. Sebagian lagi mengurung diri di kamar, diam-diam membasahi bantalnya dengan air mata, mengutuk nasibnya yang dianggapnya tidak seberuntung orang lain, merutuk orang lain sebagai kambing hitam, bahkan menyangka Tuhan tidak adil kepadanya.
Orang-orang pada bagian terakhir di atas, yang meraung-raung bersama Si Gagal, adalah generasi instan. Maunya langsung memeluk Si Sukses dan enggan bersalaman dengan Si Gagal. Mereka hanya mengenal buah dan tidak tahu dari mana, mengapa, serta bagaimana buah berada di hadapannya.
Babak perdelapan final sudah kelar. Indonesia kalah, tetapi Garuda Muda tidak babak belur.
Timnas Indonesia U-23 baru saja berpelukan dengan Si Gagal. Bagi suporter yang hanya mengenal kata menang, kekalahan tersebut akan dijadikan bahan ejekan, cibiran, atau umpatan. Mereka tidak peduli pada perjuangan pemain di atas lapangan. Kalah berarti mati. Hanya itu.
Bagi pendukung yang hati mereka dipenuhi cinta, kekalahan bukan akhir dari segalanya. Mereka tetap mencintai timnas karena peduli pada militansi, semangat pantang menyerah, dan perjuangan pemain hingga babak tos-tosan yang dimenangi tim lawan.
Ada pula golongan pendukung yang mencari kambing hitam. Wasit dituding berat sebelah. Pemain lawan terlalu pandai bersandiwara. Kiper musuh pintar mengulur-ulur waktu. Dan, tentu saja, penalti kedua akan disorot sebagai sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Dalam upaya mengejar prestasi, medali tentu jawaban atas dahaga kita pada prestasi timnas. Itu lumrah. Sangat manusiawi. Hanya saja, kita harus mengacungkan jempol dan bertepuk bangga melihat agresivitas pemain. Apalagi menyangkut semangat juang. Garuda Muda sudah memberikan segalanya, kecuali gelar juara.