Tami tidak bertemu Remba selama hampir lima bulan. Mula-mula karena Remba sibuk mengurus ijazah di kampus. Lalu, ayahnya jatuh sakit sehingga ia harus pulang ke Makassar.
Selama tiga bulan lelaki itu bertapa di tanah kelahirannya. Begitu kembali ke Depok, ia langsung pontang-panting mencari pekerjaan. Pada bulan kelima, giliran Tami yang sibuk. Tugas baru sebagai asisten dosen menyita waktunya.
Hari ini, tepat ketika Indonesia berusia 73 tahun, Tami dapat melihat Remba dari dekat. Lelaki berbadan tinggi dan berambut ikal itu sedang melahap kerupuk yang diikat di serentang tali. Kerupuk itu bergerak-gerak naik turun atau kiri kanan. Tidak keruan. Remba yang biasanya malas makan sudah menghabisi tiga kerupuk.
Orang-orang tumpah ruah di lapangan di sisi timur pondokan Remba.
Ada yang tarik tambang, ada yang memanjat batang pinang licin, ada yang memasukkan pensil ke mulut botol, ada yang balapan sambil menggigit sendok berisi sebutir gundu, ada yang jatuh bangun karena kaki mereka dibungkus karung goni, ada yang bersorak-sorai di tepi lapangan dengan muka berseri-seri.
Orang-orang merayakan hari kemerdekaan dengan penuh sukacita. Leo, sahabat Remba yang saban hari bolak-balik cari uang buat anak dan istri, sekarang terkakak-kakak karena gagal mencapai garis finis. Tiga kali terjungkal. Tiga kali terjengkang. Bukan prestasi bagus untuk lomba balap karung. Tetapi, ia tertawa girang.
Remba menang. Enam kerupuk udang berpindah ke perutnya. Kini ia berdiri di sebelah Tami, menatap gadis itu lekat-lekat, dan duka memijar dari matanya. Hanya sekejap, namun Tami tahu bahwa kesedihan sedang membakar rongga dada kekasihnya.
"Kamu tidak senang?"
Remba mengernyit. "Aku senang. Juara!"
"Lidahmu mahir menyembunyikan duka, tetapi matamu lebih mahir membunyikan luka." Tami menghela napas. Hiruk-pikuk menelan desahnya. "Meskipun jarang bertemu, aku sangat mengenalmu. Ada apa?"