Bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih? Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak, sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang.
~ W.S. Rendra, Sastrawan Indonesia
Penonton di Stadion Saint-Petersburg menjadi saksi kegagalan tim besutan Roberto Martinez. Timnas Belgia terpaksa mengubur mimpi mencetak sejarah baru, yakni melangkah ke babak final Piala Dunia. Meskipun bermain apik dan menawan sepanjang laga, mereka harus mengakui ketangguhan Prancis.
Capaian Generasi Emas era Eden Hazard tidak berhasil memecahkan rekor Generasi Emas era Enzo Scifo. Pada 32 tahun lalu, Piala Dunia 1986 di Argentina, Scifo harus rela memperebutkan takhta ketiga. Tahun ini, pada Piala Dunia di Rusia, Hazard harus puas bertarung melawan Inggris untuk memperebutkan podium juara ketiga.
Pemirsa di seantero dunia menjadi saksi kemenangan Prancis lewat sundulan Samuel Umtiti pada menit ke-51. Bek FC Barcelona itu berhasil menyambar tendangan pojok Griezmann. Tim Iblis Merah, julukan Belgia, hanya bisa melakukan 21 sentuhan di bilangan kotak penalti. Dari sembilan sontekan ke arah gawang, cuma empat yang tepat sasaran. Empat sontekan itu gagal menghasilkan gol.
Romelu Lukaku bagai pertapa yang terkucil di kotak penalti Prancis. Ia tidak berkutik diapit sepasang bek lawan, Varane dan Umtiti, yang bermain setangguh karang. Tidak hanya Lukaku, kedua bek muda Prancis itu praktis membuat Hazard dan de Bruyne tidak berdaya. Fellaini, gelandang Belgia, yang sesekali merangsek ke depan gawang pun tidak mampu berbuat apa-apa.
Prancis lebih banyak menumpuk pemain di kawasan permainan sendiri. Tim besutan Didier Deschamps itu hanya sekali-sekali mengandalkan serangan balik. Kecepatan Mbappe dan ketenangan Griezmann jadi andalan. Sepak bola praktis. Itulah Prancis. Pada akhirnya, justru permainan pragmatis yang berhasil memenangi laga.
Begitulah sepak bola. Selalu penuh drama.
Saya lebih memilih kalah dengan Belgia dengan cara seperti ini daripada menang dengan gaya seperti Prancis.
~ Eden Hazard, Kapten Belgia