Ada adik-kakak bermusuhan gara-gara beda pilihan dalam pilkada. Ada suami-istri pisah ranjang gara-gara beda gerbong saat pilkada. Ada tetangga tidak bertegur sapa akibat beda dukungan pada pilkada. Ini bukan pepesan kosong.
Pilkada serentak sudah hampir seminggu berlalu, tetapi keritap permusuhan masih terasa. Pendukung kandidat yang kalah sibuk mencari-cari kesalahan, pendukung kandidat yang menang sibuk mengorek-ngorek luka. Kedua pihak lupa belajar berpolitik secara dewasa.
Sejatinya, pilkada adalah pesta demokrasi. Namanya saja pesta, mestinya kita rayakan dengan riang atau penuh sukacita. Namanya juga pesta, pasti berpotensi menyuguhkan kejutan. Kandidat yang maju ke panggung pesta pasti mafhum pada kondisi akhir: terpilih atau tersisih.
Sebagai sebentuk pesta, rakyat dan kandidat harus lulus manajemen perasaan. Jika terpilih mesti bersikap seperti apa, kalau tersisih harus bertindak bagaimana.
Jangankan pilkada, naik pesawat saja pasti ada guncangan. Penumpang, suka atau tidak, harus merasakan turbulensi. Pesta demokrasi juga begitu. Rakyat dan kandidat seyogianya sudah tamat dalam perkara turbulensi pasca-pilkada.
Ternyata tidak, berasa gagap dan gugup.
Baik rakyat yang memilih maupun kandidat yang dipilih belum sepenuhnya siap menghadapi turbulensi pilkada. Kita gagap dan gugup seakan ini pilkada pertama yang pernah terjadi. Guncangan sebelum dan setelah pilkada belum diterima secara arif dan bijak.
Pesta memilih pemimpin akhirnya berujung pada sengketa perasaan.
***
Demi pilkada yang baru berlalu, demi kebersamaan yang pernah terjalin, demi masa depan yang lebih nyaman, mari kita hentikan garuk-menggaruk yang tidak perlu.