Setelah percakapan yang menekan jantung dengan ibu dan ayahnya, Tami merasa langit-langit kamarnya berubah menjadi gasing. Terus berputar hingga kepalanya pening.
Tiada yang dapat ia lakukan selain mengelap keringat dingin di kening, membendung gelembung sedih yang hendak pecah di mata, dan melantunkan doa di dalam hati.
Tuhan, tunjuki aku jalan yang tepat.
Ketika enam kata itu selesai ia rapal, gelembung air pecah di matanya, mengalir ke pipi, dan menetes ke bantal.
•••
Ingatannya kembali memampang percakapan dengan ibunya, tadi, di meja makan.
"Remba itu pemalas," desis ibunya seraya mengelap bibir dengan tiga lembar tisu. "Apa yang kamu harapkan dari seorang penulis yang pemalas itu?"
"Cinta, Bu," sahut Tami pelan. "Remba sangat mencintaiku!"
Ibunya menggeleng-geleng. "Kamu tidak bisa menukar beras, minyak, lauk, dan seterusnya dengan cinta." Timpal ibunya dengan nada mulai tinggi. "Kamu juga tidak mungkin membayar lipstik, bedak, pensil alis, dan sebagainya dengan puisi."
Tami menunduk. Tidak menyanggah, tidak membantah. Padahal, kupingnya gatal mendengar ibunya keliru menggunakan ungkapan dan seterusnya. Juga, dan sebagainya. Ia diam dan menunggu.