(Aku mulai menulis surat ini ketika laga antara Uruguay dan Arab Saudi baru saja usai. Aku yakin kamu menonton laga itu. Aku percaya hatimu berduka saat wasit meniup panjang peluit dan Uruguay meraup tiga angka.
Jangan berduka, Mo. Atau, kalaupun kamu merasa amat nelangsa sehingga duka sangat meraja, larikan sendumu pada larik-larik doa. Kita tidak pernah tahu apa yang akan dilimpahkan atau ditumpahkan Tuhan dalam garis takdir kita.)
Selamat pagi, Mo.
Pagi sudah tiba. Indonesia, di kampungku, sedang memasuki pagi yang cerah. Semoga kamu juga menemukan kecerahan pagi dan keceriaan matahari.
Apa gerangan yang kamu bayangkan ketika kamu duduk di bangku cadangan dan, secara dramatis, negaramu dikalahkan oleh Uruguay?
Kulihat gelisah berkilat-kilat di matamu. Kukira luka di bahumu belum sepenuhnya pulih. Kukira Cuper ragu-ragu memintamu terjun ke medan laga. Kukira hatimu meronta-ronta ingin membantu negaramu agar menang di laga pertama. Tak apa. Tabah saja.
Menyaksikan kekalahan memang tidak pernah mudah. Yang mudah itu merayakan kemenangan. Tetapi hadapilah dengan tenang. Ketenangan akan mengenalkan dan mengekalkan ketabahan. Mesti begitu. Semenyedihkan apa pun kekalahan yang kita hadapi.
Tidak usah kamu jawab pertanyaanku tadi. Ya, pertanyaan tentang apa yang kamu bayangkan melihat negaramu kalah di Piala Dunia. Sudahlah, lupakan saja.
Sebenarnya pertanyaan itu kutujukan bagi hatiku sendiri. Aku tengah membayangkan Indonesia, negaraku, bermain di Piala Dunia. Tapi mustahil. Di sini, pengurus federasi sibuk menjaring popularitas supaya mudah mencalonkan diri di Pilkada atau Pemilu.
Boro-boro memikirkan sepak bola!