/1/
(Seorang teman bertanya-tanya tentang sikap setelah ditolak. Aku berduka atas deritanya. Sayang sekali, aku bukan penguasa yang berkuasa menentukan segala. Maka, kutulis prosa lirih untuknya.)
Jika yang kaucintai ternyata tidak mencintaimu, jangan marah. Apalagi sampai berniat memaksakan cinta, melakukan apa saja demi cinta, atau mengejar-ngejar hingga ke ujung dunia. Kambing saja menolak dipaksa bermain hujan.
Cinta murni bukan dari hasil pemerasan keinginan. Apalagi dengan menempuh segala cara, seperti mengintimidasi atau menakut-nakuti agar yang kaucinta tersiksa dan akhirnya, terpaksa, menerima cintamu.
Jika yang kaucintai ternyata mencintai orang lain, jangan marah. Apalagi sampai gelap mata, lalu mendadak kepo--dengan mencari tahu pelbagai hal atas yang kaucintai--kemudian kaubuka aib yang kaucintai itu.
Apabila kamu dikecewakan atau disakiti, periksa kembali kesehatan perasaanmu. Hati-hati. Kadang kita menduga mencintai seseorang, padahal sebenarnya kita mencintai diri sendiri.
/2/
Cinta itu aktivitas merelakan. Itu sebabnya aku tak akan marah meskipun kamu tidak mencintaiku.
Punggung cuma salah satu bagian dari tubuh. Sama seperti kepala. Tetapi dalam hal mencintai, memunggungi berbeda dengan mengepalai. Dengan demikian, dipunggungi tidak sama dengan dikepalai.
Kau sedang merasakannya. Kaupeluk lututmu, ia peluk lutut lelakinya. Ia tenang meninggalkanmu, kausenang menunggalkannya. Ia riang bersama lelakinya, kau meriang karena mengangankan dan menginginkannya. Ia memunggungimu, kaupandangi punggungnya.
Begitulah punggung kalian.