Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Seorang Darwis dan Tukang Comberan yang Kotor dan Bau

Diperbarui: 31 Mei 2019   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Istimewa/kompas.id

/1/

Tersebutlah seorang darwis yang tengah menunaikan tugas akhir dari gurunya. Tidak tanggung-tanggung. Ia mesti menyempurnakan pengetahuan dengan melatih kepekaan hati. Meski sadar rintangan berat bakal mengadang, ia tetap menempuh kelana setaat-taatnya.

Kala matahari di langit timur mencurahkan cahaya ke bumi, ia memasuki Kota Murni. Ada orang yang mesti ia temui di kota ini. Seorang tukang sapu jalanan merangkap juru bersih-bersih selokan. Senyumnya terkulum membayangkan akhir masa belajar yang hampir tiba. Tugas akhir bukan beban yang berat baginya: Menjadi pelayan tukang sapu jalanan.

Tibalah ia di tempat tujuan.

Lelaki yang ia cari sedang berdiri di selokan dengan tubuh berlumur lumpur. Keningnya mengernyit. Setelah bertahun-tahun melayani gurunya yang bersih dan wangi, setelah berbulan-bulan dikitari adik-adik seperguruan yang harum dan rupawan, setelah berhari-hari menempuh perjalanan menyenangkan, sekarang ia mesti melayani juru bersih-bersih selokan yang bertubuh penuh lumpur dan berbau busuk.

Sengit bau got seketika menyerbu cuping hidungnya. Ia bimbang. Bayangan dirinya menjadi pelayan orang itu demikian menyiksa. Apa yang dapat ia pelajari dari seorang penuh kotoran? Apakah pengetahuan dapat disempurnakan oleh sepasang tangan yang tengah memegang bangkai tikus? Apa gerangan makna tersirat di balik perintah guru?  

Ia menahan napas hingga dadanya sesak. Dengan ragu ia berbalik. Hati kecilnya merasa merana dan tidak rela. Aku harus kembali ke rumah guru, bisik hatinya. 

Tidak bisa, sanggah sisi hatinya, ini kewajiban. Perdebatan dalam hatinya kian sengit. Ia berdiri bagai orang mabuk yang bingung mencari jalan pulang ke rumah.

Terbayang betapa kekuatan pikirannya sudah mampu menjatuhkan apel tanpa ia sentuh dan menjauhkan batu tanpa ia pegang. Terbayang bagaimana kuasa pikirannya menjatuhkan seekor merpati dan menjauhkan bangkai burung itu dari matanya. Hatta sekarang ia mesti menjadi pelayan orang berbau comberan.

Tidak, guru pasti keliru.

“Buah apa lagi yang hendak kamu pisahkan dari pohonnya?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline