Matahari di punggung Remba mulai berasa panas. Keringat membuat bajunya berasa lengket ke punggung. Meski begitu, ia tetap berjalan. Ia tidak ingin mengeluhkan terik matahari sebagaimana ia enggan mengeluhkan lebat hujan.
Bagaimanapun, hari ini ia harus menemui Tami. Tidak boleh tidak. Harus. Gadis bermata sendu yang ia cintai sepenuh hati itu mau syukuran. Izin praktik dokternya sudah turun. Ada acara gunting pita dan makan-makan. Sebagai kekasih merangkap calon suami yang baik dan berbakti, ia wajib hadir.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Tanda titik. Ya. Tanda baca dengan simbol titik kecil hitam itulah gara-garanya.
Kamu harus datang. Titik!.
Begitu pesan Tami. Kalimat perintah itu ditutup dengan tanda seru (!) dan tanda titik (.). Pemborosan. Pada tanda seru sudah ada simbol titik, jadi buat apa lagi tanda seru diikuti tanda titik. Tidak ada gunanya. Sebagai seorang calon penulis, ia tidak ingin membiarkan kekeliruan sepele itu terjadi. Apalagi dilakukan oleh pujaan hatinya.
Kemarin lusa, Tami juga keliru menggunakan titik.
Jangan lupa makan, Yang .
Ada spasi sebelum titik, padahal mestinya tidak ada. Tanda titik dan tanda baca lain harus melekat dengan kata yang diikutinya. Begitu? Ya, begitu! Bukan "begitu ?" atau "begitu !".
Matahari makin panas di punggungnya ketika Remba tiba di depan rumah Tami. Hati Remba serasa tercabik-cabik sewaktu membaca plang.
PRAKTEK DOKTER 16.00 s/d 20.00.
Praktik, Yang, bukan praktek.Bisiknya sambil menggeleng-geleng. Mestinya tanda titik yang berada di sela "s" dan "d", bukan garis miring (/). Garis miring itu penanda "per" dan "atau". Singkatan memakai titik. Jadi "s.d." untuk "sampai dengan", "u.b." bagi "untuk bagian", "d.a." buat "dengan alamat", atau "a.n." untuk "atas nama". Begitu pula dengan singkatan kata seperti dkk., dll., dsb., dan yth.