Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Bahkan Seandainya Fenomena Gajah Mada Benar

Diperbarui: 26 Mei 2019   13:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: istimewa

Apa saja bisa cocok kalau dicocok-cocokkan dan kita mau mencocok-cocokkan. Di dunia dongeng, kita bisa menemukan kecocokan antara putri jelita dan ikan duyung. Dalam Barichalla, novel fantasi saya yang akan terbit bulan depan, ada tokoh bertubuh kuda dengan wajah manusia. Cocok, kok.

Donald Trump bisa dicocok-cocokkan menjadi Dun Al-Taram. Cocok saja. Michael Jackson dapat dicocok-cocokkan dengan Mika El-Ghassan. Ini keren. Remaja yang cerdas, lembut, dan manis. Bahkan Tom Cruise bisa disapa Thami El-Khusa--yang tinggi dan rajin. Ketiga pencocokan tersebut lumayan membuat saya cengengesan.

Dicocokkan tentu saja berbeda dengan dicocok-cocokkan. Yang pertama mengandung adanya unsur kecocokan, yang kedua memuat kemungkinan kecocokan yang mengada-ada. Inilah perlunya, dalam sempit pikiran saya, kemauan kita untuk "meragukan dan mempertanyakan".

Secara pribadi, saya mempertanyakan: koin emas berinkripsi syahadat itu diproduksi tahun berapa untuk dibandingkan dengan tahun keberadaan Majapahit; masa saat Maulana Malik Ibrahim didaulat sebagai "qadhi" di Majapahit untuk dibandingkan dengan masa keemasan dan keruntuhan Majapahit; pendalaman biografi Gajah Mada yang, selanjutnya, dibandingkan dengan awal masuknya Islam ke tanah Jawa.

Kalaupun ada orang atau lembaga di sekitar kita yang secara serius dan sadar mencocok-cocokkan Gajah Mada beragama Islam, dengan nama yang ditengarai Gaj Ahmada, itu hak dia atau hak mereka. Hasil kajiannya tentu saja dihargai, meskipun tidak serta-merta diamini kebenarannya. Apabila ada yang tidak setuju, timpali dengan tulisan. Bisa bergaya serius, bisa nyeleneh, bisa satire. Namun, tidak berarti harus mencerca, mengejek, atau menghina organisasi tempat lembaga kajian itu bernaung.

Logika sederhana saja dapat kita ambil dari satu keluarga. Si Kaka belum tentu sependapat dengan si Ade. Si Bunda bisa jadi tidak sependapat dengan si Ayah. Begitu pula dengan orang lain yang seorganisasi dengan si pengkaji itu. Belum tentu semuanya berpendapat sama. Saya termasuk di antara yang ragu-ragu untuk sependapat.

Bahkan seandainya Muhammadiyah secara resmi berfatwa bahwa Gajah Mada itu Muslim, barangkali saya tetap ngeyel. Tidak akan menelan fatwa itu secara bulat-bulat, tidak. Kalau watak "ngeselin" saya kumat, komentar yang paling mungkin saya lontarkan adalah "kurang kerjaan". Dua kata terakhir ini boleh dibaca "memalukan". Tetapi, tolong dicamkan. Alinea ini diawali dengan "bahkan seandainya".

Malahan, andaikan semua orang di Nusantara ini sepakat menyebut Gajah Mada sebagai Al-Fatih Gaj Ahmada, saya tetap menyebut pelantun Sumpah Palapa itu sebagai Gajah Mada. Kenapa? Lebih mudah saya lafalkan. Sesederhana itu.

Kandangrindu, Juni 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline