Mengapa kamu menulis? Ini pertanyaan klasik yang sering ditujukan kepada kaum penulis, termasuk saya. Kalaupun tidak dalam sebuah pertemuan resmi yang dihadiri banyak orang, penulis bisa saja menerima pertanyaan itu lewat pesan pendek, telepon, komentar di media sosial, atau dalam sebuah bincang ringan di kedai kopi. Pertanyaan itu boleh jadi dilontarkan oleh kerabat dekat, teman akrab, bahkan orang asing yang baru pertama kali atau sama sekali belum pernah ditemui.
Pertanyaan itu ringan, malah sangat enteng, semacam pertanyaan yang bisa lekas-lekas dijawab tanpa harus memeras pikiran. Meski begitu, pertanyaan itu tak dapat dianggap ringan atau dipandang enteng. Ada kalanya bikin gelagapan. Tak ayal, selalu muncul jawaban berbeda. Kemarin dijawab menulis untuk diri sendiri, hari ini beda lagi. Hari ini dijawab menulis untuk melawan lupa, besok lain lagi. Selalu begitu. Tak usah bingung. Anggap saja pertanyaan itu tergolong pertanyaan yang tidak butuh jawaban baku.
Akan tetapi, sesekali jangan tunggu orang lain bertanya kepada kalian ihwal tujuan atau alasan menulis. Duduklah beberapa saat setelah bangun tidur atau saban beban kerja meringan, lalu pejamkan mata dan tanyakan pada diri sendiri. Mengapa saya menulis? Santai saja, tidak usah terburu-buru membuka mata. Biarkan mata kalian terkatup hingga hati kalian menemukan jawaban. Merenung bukan pekerjaan tabu bagi orang yang berhasrat ingin mahir menulis. Setelah jawaban atas pertanyaan itu bergema di dasar kalbu, buka mata dan rasakan tujuan menulis itu menyatu dengan darah dan mengalir ke sekujur tubuh.
Apa jawaban kalian?
Isabel Allende, novelis yang kerap mengisahkan orang-orang tersingkir dan jauh—atau dijauhkan—dari kekuasaan, punya jawaban yang keren. Saya menulis agar kenangan tak hilang tersapu angin. Itulah jawaban pengarang The House of Spirit. Dalam frasa yang lebih intim dengan telinga kita, upaya melawan lupa. Bagaimana dengan kalian? Adakah kalian memiliki kenangan yang tidak kalian inginkan raib bersama laju waktu? Jika ada, tulislah! Bagaimana kalau tidak ada? Rasanya mustahil, kecuali kalian tak punya masa lalu atau hari kemarin. Atau, begini saja. Selain ingatan personal, kita juga dapat memindahkan ingatan kolektif ke dalam tulisan, agar peristiwa-peristiwa di sekitar kita tidak terhapus selekas air hujan hilang di permukaan cadas. Dengan begitu, kita mengabdikan diri sebagai pengabadi peristiwa. Atau, lebih keren lagi, beribadah melalui tulisan.
Tunggu dulu. Mengapa saya pilih kata ibadah? Jawaban saya sederhana. Apa pun kebaikan yang kita lakukan, sejatinya, adalah bentuk bakti kita kepada sesama manusia, semesta, atau Tuhan. Menulis juga begitu. Saban menyaksikan peristiwa di sekitar kita, menyenangkan atau menyakitkan, indah atau muram, menggelikan atau memuakkan, tulisan akan mengabadikan peristiwa itu. Perasan perasaan, akibat rentetan peristiwa yang disaksikan itu, barulah terbaca oleh generasi setelah kita apabila tertuang ke dalam tulisan.
Sekarang, menolehlah! Banyak peristiwa terjadi di sekitar kita. Mulailah dari hal kecil yang kita alami atau jalani sehari-hari. Ingat-ingat, saring-saring, lalu tulis dengan atau sepenuh hati.
Petuah Nadine Gordimer, peraih Booker Prize 1974 dan Nobel Sastra 1991, dapat kita jadikan pegangan. Saya menulis sebagaimana seorang anak yang gembira saat berusaha memahami hidup dengan pikiran gara-gara melihat, mencium, dan merasakan berbagai hal, kemudian lahirlah emosi-emosi yang membingungkan atau mengamuk dalam diri saya. Dengan kata lain, Nadine menulis untuk dirinya sendiri, demi pelepasan kegelisahan yang melumuri batinnya.
Tak perlu cemas karena menulis untuk diri sendiri. Itu bukan aib. Bukan juga nista yang membuat diri kita terluka atau terhina. Ingat, setiap manusia ditakdirkan unik, berbeda dibanding manusia lainnya. Pengalaman batin saya pasti berbeda dengan pergolakan batin kalian. Sebaliknya juga begitu. Manakala kalian menuliskan keunikan pengalaman itu, pada saat bersamaan kalian telah menyumbang bagi kemanusiaan. Orang lain bisa becermin dari kekhasan pengalaman kalian. Dan, tentu saja, bernilai ibadah. Lantaran tulisan adalah buah dari pohon kecendekiaan, maka menulis dapat digolongkan sebagai ibadah intelektual.
Apakah kecamuk pikiran, riuh gagasan, atau pengalaman saya layak ditulis? Jangan remehkan diri sendiri. Tak ada perbuatan paling kejam selain merendahkan diri sendiri. Kalau kita kurang percaya pada kekayaan batin atau kegemilangan pikiran sendiri, mana tahu kuasa imajinasi kita kaya raya. Kalau hal itu masih belum cukup, bolehlah kita resapi fatwa Orhan Pamuk—penulis yang turut menggiring saya ke dunia prosa—dalam hal berkisah. Jika seorang penulis mesti mengisahkan ceritanya sendiri, kisahkanlah dengan perlahan-lahan, seolah-olah itu cerita tentang orang lain. Enteng, kan?
Salah satu tenaga kata-kata adalah kemampuannya menciptakan dunia seolah-olah. Dari tulisanlah kita bisa, seolah-olah, mengelana ke seluruh penjuru dunia. Pada tulisan kita dapat berulah liar atau bengis dan, seolah-olah, akibatnya kita terlontar ke balik jeruji besi. Lewat tulisan kita bisa menjadi pecatur hebat, dokter cantik, panglima gagah, ilmuwan serius, astronot keren, atau apa saja. Tenaga kata-kata itu apabila kita gunakan dengan cermat dan dalam takar yang tepat, dapat menggerakkan pembaca. Bahkan, mungkin saja, mengubah. Tatkala itu tercapai, lagi-lagi kita berhasil menegakkan ibadah intelektual.