Kita mudah melupakan sesuatu bukan karena tidak bisa mengingatnya, melainkan karena tidak menemukan cara untuk mengingatnya.—Rene Descartes
7 Agustus 1997. Kala itu seorang anak muda meninggalkan tanah kelahirannya dengan hasrat menggelora, merantau ke tanah Jawa bersama tiga buah manuskrip kumpulan puisi, mencoba peruntungan di tanah rantau dengan harapan-harapan yang berkilauan di mata. Seturun dari KM Lambelu di Pelabuhan Tanjung Priok, kemalangan mulai menyambutnya. Tas punggung berisi pakaian, tanda pengenal, dan alamat tujuan, ikut raib bersama Si Entah yang menggondolnya. Yang tersisa tinggal manuskrip kumpulan puisi, pakaian yang melekat di badan, dan beberapa lembar uang di saku bagian depan.
Adakah anak muda itu putus asa? Tidak. Beberapa jenak memang sempat linglung, bingung menentukan harus berbuat apa, hingga dorongan para penumpang kapal mengembalikan keawasannya. Manakala telapak kakinya menjejak tanah, anak muda bertubuh ceking itu mengelus dada dan mensyukuri di saku celananya masih ada uang—walaupun tak seberapa. Ia berjalan ke tempat yang rada lapang dan menenangkan debar cemas di dada. Di luar sana, batinnya, banyak orang yang lebih sengsara.
Baiklah, anak muda itu adalah saya. Sebab-musabab saya tinggalkan tanah kelahiran memang lantaran hasrat menggebu untuk menerbitkan kumpulan puisi. Tetapi, tak ada jalan yang mudah menuju Negeri Impian. Tiga penerbit di Jakarta tak berminat menerbitkan buku puisi dari penyair asing dan belum punya nama. Dua alasan itu sengaja saya cetak miring sebagai penegas bahwa, kesohoran nama amat berpengaruh atas dicetak atau tidaknya sebuah buku—apalagi buku puisi yang tidak terlalu diincar calon pembeli buku—oleh penerbit.
Abaikan kalimat terakhir dalam paragraf sebelum paragraf ini. Itu pendapat subjektif saya—lahir dari jiwa muda yang rasa percaya dirinya amat berlimpah, muncul dari rahim muda pengarung mimpi yang merasa dirinya seorang dukun kata, dan meruap dari kalbu jejaka gila yang mengira kalau mengarang puisi itu pekerjaan yang harus dilakoni sepenuh hati dan mati-matian—yang, tentu saja, tidak bisa jadi patokan atau titik tumpu untuk menghakimi sesuatu. Faktanya, banyak penerbit yang bernyali menerbitkan kumpulan puisi anggitan penyair muda. Tapi, itu sekarang.
Hingga hari ini, anak muda yang pernah kelimpungan di Pelabuhan Tanjung Priok itu masih bersetia pada puisi.
Nah, hari ini saya kaget bukan kepalang kala membaca pesan lewat Facebook dari seorang kawan Kompasianer. Fitri Manalu namanya. Syahdan, tiga puisi saya di Kompasiana telah dicomot Si Entah dan, sekonyong-konyong, muncul di media luring—luar jaringan—yang kabarnya ia dapati di sebuah grup pengabar karya sastra secara berkala.
Sekali lagi, saya kaget. Sekaligus bingung. Pertama, saya sedang tidak dimintai puisi untuk dimuat oleh koran atau majalah. Kedua, sudah tiga tahun saya tidak mengirim puisi ke koran atau majalah. Ketiga, tidak ada redaktur dari koran atau majalah yang meminta izin untuk memuat ketiga puisi saya itu di koran atau majalah mereka. Masih banyak muasal kekagetan dan kebingungan saya, tapi cukup tiga alasan itu yang saya terakan di sini.
Lantas, mengapa saya menulis dan mengunggah tulisan ini di Kompasiana?
Saya pikir, ini harus saya lakukan. Pertama, andai kata redaktur koran Duta Masyarakat—entah redaktur atau Si Entah yang mencomot ketiga puisi saya dari akun Kompasiana saya—tentu dengan senang hati akan saya berikan puisi-puisi saya yang lain, bukan puisi yang sudah saya pajang di Kompasiana. Saya punya banyak puisi. Di komputer bimbit saya masih ada sekisar 600-an puisi yang belum pernah saya pajang di mana-mana. Di gudang imajinasi saya lebih banyak lagi. Eh, kok jadi sombong pamer-pamer jumlah puisi. Maaf, ya.
Kedua, saya sudah mencoba menghubungi redaktur Duta Masyarakat untuk meminta penjelasan terkait lelaku asal comot puisi ini. Tidak, saya tidak berniat bikin malu, bertegang, apalagi bertengkar. Saya malah ingin duduk dan ngopi bareng seraya membincangkan di mana sumur ilham ketiga puisi itu berasal. Saya cukup kenyang memamah urusan seperti ini. Pada masa awal menulis cerpen, 2009, saya pernah mengirim cerpen ke sebuah koran dan tidak ada jawaban hingga tiga bulan berlalu. Cerpen itu lantas dimuat di Jurnal Bogor. Dua pekan setelah pemuatan di koran, yang kini sudah mendiang itu, cerpen saya juga dimuat di koran yang-tak-berkabar-selama-12-minggu itu. Uniknya, bukan nama saya yang tertera sebagai pengarang. Eh, kok malah curhat!