Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Bahasa Itu Senjata bagi Penulis

Diperbarui: 30 Juli 2018   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: huffingtonpost.com


Saya tidak pernah berniat menjadi penulis. 

Semasa kecil, tepatnya sewaktu SD, saya bahkan tidak pernah mendengar ada teman sekelas yang bercita-cita menjadi penulis. Kalaupun teman-teman saya punya cita-cita, biasanya pilot, dokter, guru, tentara, polisi, astronot, atau saudagar. Sesekali ada yang ingin jadi presiden. 

O ya, ada juga yang mau menjadi Habibie--mungkin teman saya ini mengira Pak Habibie itu profesi.

Anehnya, saya tidak pernah berminat memiliki cita-cita. Biarpun dikasih hadiah berupa cita-cita, pasti akan saya tampik. Bagi saya, cita-cita adalah sesuatu yang terletak di tempat yang tinggi sekali, sampai-sampai membayangkannya pun tidak pernah saya lakukan. 

Jadi dokter? Rasanya mustahil. Tiada uang buat biaya kuliah.

Akan tetapi, semuanya berubah semenjak saya bertemu dengan Gorys Keraf. Mengapa saya berubah? Pak Gorys gara-garanya. Kalian tidak perlu bingung, akan saya ceritakan pertemuan saya dengan munsyi kelahiran Lamalera, NTT, itu. 

Tunggu dulu, jangan mengira saya bertemu langsung dengan beliau. Tidak. Pertemuan dan percakapan kami berlangsung secara imajiner. Itu pun terjadi puluhan tahun lalu, 1987, kala saya masih kelas 1 di SMP Negeri Tanetea, Jeneponto. 

Bagaimana bisa saya menemukan beliau? Tak lain bukulah perantaranya. Komposisi. Buku itu dihibahkan oleh guru saya, Aspah Munsyi. Saya selalu suka hadiah, apalagi hadiah buku. Pak Aspah suka guratan pena saya, terutama kalau ada tugas mengarang. Kata beliau, saya berbakat jadi penulis. Maka, buku Komposisi pun berpindah kepemilikan. Tak apa. Asal jangan disuruh bercita-cita menjadi penulis. Lagi pula, sudah dapat hadiah buku.

Selain mengarang, saya juga sangat suka melamun. Itulah sebabnya kala masih remaja, saya sudah membayangkan didatangi Pak Gorys ketika saya sedang asyik membaca buku anggitan beliau di punggung Kapila--kerbau kesayangan saya. Kala itu, saya kira Pak Gorys lebih dahulu menemui Pak Aspah. Soalnya, mereka setali tiga uang mengira saya berbakat jadi penulis.

Untung Pak Gorys tidak membuka percakapan dengan frasa yang saya benci: Apa cita-citamu? Hanya saja, saya sudah punya jawaban andai kata beliau menanyakan hal itu. Ini rencana jawaban saya: Apakah bisa orang miskin punya cita-cita?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline