Lihat ke Halaman Asli

Khrisna Pabichara

TERVERIFIKASI

Penulis, Penyunting.

Menulis (Sepenuh) Cinta ala Tuan Hoo Eng Djie

Diperbarui: 26 Mei 2019   13:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: Aspertina Twitter - @aspertina

Selepas berjalan kaki, saat awan tipis meredam terpaan cahaya matahari pagi, ingatan saya berulah. Sekonyong-konyong ingatan menyeret saya ke masa kecil, masa ketika saban pagi Ibu membuai saya dengan lagu-lagu daerah Makassar. Ketenangan selepas menghirup udara segar seketika sirna. Jantung seorang bocah empat tahun, di dalam ingatan saya, berdebar kencang mendengar alun suara Ibu.

Ammak Ciang dendang, Ammak Ciang dendang. Tallu lawarak lekokna. Napak laklangngi, sikontu bonena lino. Begitu bunyi larik awal lagu yang didendangkan Ibu. Mengalun, membuai. Ibu saya memang bukan penyanyi, bukan juga pemain teater, tetapi mahir menghayati apa saja yang beliau nyanyikan atau tuturkan. Seperti pagi ini, di kesunyian kenangan, Ibu begitu syahdu melantunkan lagu yang pengarangnya kerap disebut NN. 

Setahun lalu, 1 Juli 2015, Ibu saya kembali ke dalam dekap cinta-Nya. Meski begitu, Ibu masih sering mengunjungi saya: bertamu di dalam mimpi, memeluk ringkih rindu saya di labirin angan, atau mengisahkan dan menyanyikan apa saja dalam hangat ingatan. Hati saya selalu riang dan sangat bahagia setiap Ibu datang. Alamat mendengar banyak kisah, alamat menyimak banyak lagu daerah. Termasuk lagu-lagu gubahan pengarang Ammak Ciang—yang sering disebut Tuan NN itu.

Pengarang lagu Ammak Ciang—yang baru saja menyeret saya ke masa kanak itu—sebenarnya punya nama. Hanya saja, semasa saya kanak dan remaja, mungkin juru setel di stasiun televisi dan radio yang menyetel lagu itu mengira pengarangnya tak bernama. Tak apalah. Biarkan saja. Toh itu sudah berlalu. Seperti Ibu, pengarang Ammak Ciang juga sudah tiada. Hoo Eng Djie namanya. Beliau wafat pada 7 Maret 1960. Pada batu nisannya, salah satu syair gubahannya diukir dalam aksara Lontarak Makkassar.

Pagi ini Tuan Hoo melintas di ruas jalan ingatan saya yang sedang lapang dan lengang, diiringi para pemain orkes Singarak Kullu-Kulluwa (Cahaya Kunang-Kunang), juga para pakacapi (pemain kecapi), pakesok-kesok (pemain rebab Makassar), pabiola (pemain biola), dan pagambusuk (pemain gambus). Dia berjalan di tengah cuaca ingatan saya yang dingin dan berkabut. Matanya teduh, menebarkan hawa sejuk dan hangat embun.

Sebulan belakangan ini saya memang kerap dipermainkan gelombang kenangan. Nasib anak rantau memang begini, ada-ada saja yang menyeret ingatan ke masa lalu atau ke tanah kelahiran. Namun, saat ini pikiran saya tidak leluasa mengembara. Tuan Hoo sudah tiba di depan saya, memberikan isyarat lewat selambai jemari, dan mengalunlah lagu-lagu gubahan beliau seperti Ati Raja, Makrencong-rencong, Tanning-tanning, dan Sai Long.

Saya mulai larut, mulai hanyut. Rasanya seperti tertidur lelap, lalu terjerumus ke dalam ngarai mimpi berlapis-lapis—sejenis mimpi yang di dalamnya ada mimpi yang lain. Lagi dan lagi. Rasanya seperti terperosok ke dalam lubang ingatan—semacam ingatan yang di dalamnya ada lubang menganga pengantar menuju ingatan yang lain. Terus begitu. Sementara itu, di telinga, suara bariton Tuan Hoo masih mengayun-ayun ingatan saya.

Dengan penuh harap bakal bersua jawaban, saya bertanya kepada Tuan Hoo perihal di mana menjaring ide dan bagaimana caranya beliau menanak gagasan. Seniman yang pernah ditahan Kompeni karena diduga menghasut rakyat untuk melawan penjajah itu sungguh murah senyum. Benarlah tuturan Claudine Salmon, Shaifuddin Bahrum, Yerry Wirawan, dan Myra Sidharta.

Tuan Hoo menunjuk dadanya seraya berbisik, “Menulislah dari hati.” Betul, ya, betul sekali. Apa pun yang kita tulis, bagaimanapun bentuk tulisan kita, segalanya memang harus bermula dan beranjak dari hati. Tulisan yang digubah sepenuh hati akan tiba dan lesap ke dalam hati juga. Penyair yang tidak pernah menamatkan sekolah dasar akibat orangtuanya yang miskin itu sudah memberikan teladan. Lewat Ammak Ciang, misalnya. Tallu lawarak lekokna (tiga lembar sirih) adalah simbol atau perlambang atau penanda atas yang-diyakini atau yang-diimani—tempat seluruh penghuni semesta berlindung.

Ingatan saya bergerak pada lagu lain yang digubah oleh mantan pelaut itu. Ati Radja—salah satu lagu yang mudah sekali memantik kenangan saya atas tanah kelahiran—judulnya. Ta lino ta anja monne (tidak dunia tidak akhirat), laku isseng kumangei (yang bisa kudatangi), empoma anne situdangang pakrisikku (itulah musabab aku bertahan dalam luka lara). Tidak, Tuan Hoo tidak semata-mata berkisah perkara hati seseorang yang tengah dilanda asmara—sampai-sampai menduga dunia dan akhirat sama pahitnya—tetapi sekaligus menyuguhkan titik tumpu perenungan: dunia yang sementara dan akhirat yang abadi, merawat luka lara atau bergegas menyongsong semangat baru. Ini perkara tafsir saja. Saya, juga kalian, berhak menaruh makna apa saja atas lagu itu. Begitu pula jalan nasib atau garis takdir.

Lelaki yang juga mahir menyanyikan lagu-lagu asli Makassar itu lagi-lagi tersenyum. Menulislah sepenuh cinta. Bukan semata tulisan yang sarat muatan cinta, melainkan juga cara kita menulis yang harus dipenuhi cinta. Bahkan ketika yang hendak ditulis adalah luap kemarahan, amuk kebencian, atau ganjalan kekesalan, kita harus piawai memilah kata agar tulisan tetap dalam bingkai cinta. Tuan Hoo terhitung mahir mengemas kritik atau pemikirannya lewat sajak atau syair yang lembut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline