Kata siapa menulis itu mudah? Bagi yang terbiasa menulis barangkali memang bukan perkara pelik. Bisa jadi malah semudah membalik telapak tangan. Tidak begitu bagi mereka yang belum terbiasa. Kadang ide sudah menggunung di kepala, imajinasi juga sudah liar ke mana-mana, tetapi semuanya menguap tanpa bekas sewaktu jemari tiba di atas papan ketik komputer. Saya sering mengalaminya. Itu sebabnya saya berani mengatakan bahwa menulis itu bukan pekerjaan mudah. Akan tetapi, itu hanya berlaku bagi saya. Anda mungkin saja berbeda.
Begitulah pengalaman saya sewaktu menganggit novel terbaru, Natisha (Persembahan Terakhir). Bila dirunut dari kali pertama diangan-angankan, Natisha butuh 11 tahun sebelum akhirnya berhasil dilahirkan. Mengapa bisa sedemikian lama? Bukan soal jalan buntu, lazim disebut blockwriter, melainkan lantaran hal-hal di luar kuasa saya selaku pengarang.
Mula-mula disket yang tak bisa menampilkan tujuh bab bantaran awal (2005), lalu laptop yang sukses digondol maling sehingga sembilan bab lagi-lagi bablas (2009), dan putus asa sampai-sampai berucap "selamat jalan" (2013). Yang sulit dari dua kali keguguran itu adalah menggali atau mengorek-ngorek ingatan. Tidak hanya sukar, tetapi sekaligus menjengkelkan.
Saban mulai menulis-ulang, rasa jengkel itu menyeruak seketika. Kata "seandainya" segera memenuhi kepala dan menyesaki dada. Seandainya dulu disket tidak rusak, seandainya dulu laptop tidak dicuri orang, seandainya begini seandainya begitu. Dan, "seandainya" memang pintu masuk bagi segala kejengkelan.
Meski begitu, saya tidak akan bercerita ihwal seberapa pelik perjalanan batin saya dalam menganggit Natisha. Saya juga tidak akan membabar sisik-melik mengapa "seandainya" dapat menjadi sebegitu menjengkelkan. Tidak. Saya akan bertutur soal lain, sesuatu yang sangat saya sukai sepanjang menapaki jalan kepengarangan.
Saya akan menuturkan perkara lain yang kerap dipertanyakan segelintir pembaca yang sudah mengkhatamkan novel ketiga saya itu. Perkara apa gerangan? Diksi arkais. Mula-mula Shinta Febriani, pembincang kala perayaan kelahiran Natisha pada MIWF 2016 di Benteng Rotterdam Makassar, yang menemukan kegemaran saya menggunakan kata-kata usang itu. Lalu Sulhan Yusuf, seorang pejuang literasi di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Bahkan Joni Sujono, pegiat perbukuan di Tangerang, begitu setia menghitung jumlah kata arkais yang saya gunakan dalam novel Natisha. Ada 58 kata, ujarnya.
Tentu saja penggunaan kata-kata yang, mungkin, bagi sebagian orang itu jarang dipakai bukanlah hal yang kebetulan. Saya melakukannya dengan sadar. Kata hulu, misalnya, yang saya gunakan sebagai pengganti kata prolog. Tak ada yang salah dari kata prolog. Hanya saja, terkait Natisha, saya merasa sangat nyaman menggunakan kata hulu. Itu pula sebabnya pemisahan episode kisahan tidak menggunakan bagian, tetapi bantaran.
Hulu tentu bukan kata yang sudah jarang digunakan, hanya saja tidak terlalu lazim digunakan sebagai pembuka kisahan. Dalam hal ini, saya semata-mata bersandar pada rasa baca. Entah mengapa kata hulu, khusus dalam Natisha, berasa lebih enak saya baca. Sesederhana itu. Kebahagiaan lain yang saya rasakan adalah bertemu penyunting yang sepaham dan bisa memahami hasrat saya dalam menggunakan kata-kata arkais. Shalahuddin Gh., penyunting Natisha, bahkan turut menyodorkan kata-kata lain yang membuat saya terperenyak dan terperangah.
Jika Anda berbaik hati membaca Natisha, Anda akan menemukan kata-kata seperti gelepai, pelor, jelengar, tenahak, telimpuh, dan seluar. Seperti temuan Mas Joni, puluhan kata tua lainnya bakal Anda dapati. Meski begitu, saya berharap kenyamanan membaca Anda tidak akan terganggu. Kata-kata itu sudah saya bumbui sedemikian rupa sehingga mudah dicerna.
Penempatannya saya tata sebegitu rapi supaya tidak menyiksa khalayak pembaca. Bila Anda sudi berpayah-payah, Anda bisa membaca Natisha sembari menyiagakan kamus di sisi atau di dekat Anda. Bila hal itu agak mengganggu, silakan baca saja dan, semoga, Anda tidak menjadi laksana pulpen yang tersendat-sendat karena tintanya tidak mengalir dengan lancar.
Apa alasan saya menggunakan kata-kata arkais itu? Cinta gara-garanya. Saya bersyukur karena dikaruniai rasa cinta pada bahasa Indonesia. Lebih bersyukur lagi, kosakata bahasa Indonesia lumayan kaya. Untuk menggambarkan tiruan bunyi, sekadar menaruh contoh, nyaris ratusan kata. Orang gemuk yang jatuh berbeda kata tiruan bunyinya dengan orang kurus yang jatuh. Daun basah tersentuh tangan atau badan berbeda kata tiruan bunyinya dengan daun kering.