Lihat ke Halaman Asli

Blasius Mengkaka

TERVERIFIKASI

Guru.

Hidup dalam Belas Kasihan

Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

     Banyak karyawan/i sering mengeluh, mengapa jaminan hari tua di negeri ini begitu buruk? Saya teringat, beberapa saat lalu, ketika beberapa karyawan/i ramai-ramai diberhentikan sebagai karyawan/i di Biara/Lembaga Katolik di KA, mereka hanya diberikan uang persekot/pensangon sebanyak 1 tahun dari jumlah gaji terakhir tanpa gaji pensiunan. Banyak dari para karyawan/i memberontak, namun banyak dari antaranya akhirnya menerima. Om Lukas (bukan nama sebenarnya) menceriterakan kepada saya kenyataan yang dialaminya selama perjalanan menuju ke kota Atambua. Kebetulan saya menggunakan jasa Ojeknya untuk bepergian ke Atambua. Dari ceriteranya saya tahu bahwa dia merupakan  salah satu karyawan biara SSpS Halilulik yang mengalami ini.

     Setelah bekerja selama 25 tahun, Om Lukas diberhentikan dengan gaji 12 bulan ke depan tanpa gaji pensiun. Jumlah gaji bulanannya terakhirnya pun tidaklah banyak, hanya Rp 850.000 dengan masa kerja 25 tahun, maklum dia tidak memiliki Ijazah apapun. Demikianpun rekan-rekan karyawan lainnya. Dengan jumlah gaji yang diberikan, Om Lukas memilih untuk membeli motor lalu dia mengojek setiap hari. Mantan karyawan lainnya memilih untuk membeli ternak sapi lalu beralih pekerjaan menjadi gembala sapi, memanfaatkan alam Savana Timor. Hal yang sama mungkin dialami oleh ribuan karyawan/misi atau Lembaga lainnya yang bekerja selama bertahun-tahun tanpa uang pensiun di hari tuanya. Bahkan, nasib para karyawati misi Katolik malahan lebih miris di mana sepanjang masa remaja hingga masa tua mereka bekerja sebagai juru masak, lalu diberhentikan hanya dengan uang pesangon 12 bulan gaji terakhir mereka tanpa gaji pensiun. Pulang rumah, umur mereka sudah tua dan telah kehilangan kesempatan untuk berkeluarga. Miriskah kenyataan ini?

     Sepintas kilas, kondisi ini memang miris, namun kalau kita merefleksikan kenyataan ini baik-baik secara iman, sebenarnya hal demikian tak perlu benar-benar dikuatirkan. Sebab manusia sering memiliki pemikiran keliru tentang kehidupan ini. Manusia sering berpendapat bahwa hidup sukses atau berada karena kuasa semata-mata, baik kuasa Tuhan maupun kuasa manusia. Dalam hal ini idealnya hidup manusia harus tergantung pada cinta, pengasihan dan belas kasih. 

     Itulah sebabnya, kepada Om Lukas saya mengatakan, "Bila manusia ketika masa tuanya mengeluh tentang jaminan hidup negara, saya justeru menggugat kesadaran iman, apakah manusia telah memiliki cinta, pengasihan dan belas kasihan dalam masa tuanya? Sebab hanya cinta dan belas kasihanlah yang membuat manusia hidup, Dan karena belas kasih merupakan jaminan hidup masa tua paling tepat". Tanpa belas kasihan, orang tak mungkin hidup. Keselamatan bahkan terjadi kerena belas kasihan Tuhan dan manusia, bukan karena jasa manusia semata-mata.

     Untuk itu seumur hidupnya manusia harus menyadari dan membina sikap belas kasihan dan melaksanakannya tanpa pamrih. Dewasa ini justeru hal belas kasihan menjadi sesuatu yang tidak diperhatikan lagi. Pembinaan religius tentang unsur belas kasihan kurang ditanggapi secara antusias oleh umat beriman. Oleh karena itu belas kasihan dalam zaman ini merupakan prestasi pribadi, prestasi atas kesadaran pribadi sendiri, dan banyak sukses telah mengalaminya. Dengan kesadaran ini, mereka memberi dan menyumbang untuk agama dan berbagai kepentingan tanpa henti. Seumur hidup orang ingin mempraktekkan belas kasihan demi buah-buah rohani dan kebaikannya.

     Saya ingat dalam salah satu Lapak Grup Facebook Guru, seorang rekan guru bertanya kepada teman-teman Gurunya, "Apakah yang anda buat apabila semua Guru di Indonesia mendapatkan gaji Rp 10 juta setiap bulan? Apakah yang anda buat dengan uang itu?". Hanya satu yang menjawab, "Saya ingin memperbanyak derma dan zakat untuk orang-orang berkekurangan dan untuk agama saya". Menurut hemat saya, jawaban sang Guru ini patut diacungi jempol. Guru tadi itu ingin memperbanyak kekayaan belas kasihan dan cinta dengan uang yang dimilikinya bagi sesama dan agamanya dengan berderma dan berzakat. Dengan itu dia mendapatkan banyak cinta dan belas kasihan pada usia pensiunnya dan bahkan ketika saat ajalnya.

     Untuk itulah, saya hanya menyitir kalimat  di atas sebagai kalimat penutup artikel ini, janganlah takut akan hari esok bila anda telah memiliki cinta dan belas kasihan selama masa mudamu. Cinta dan belas kasihan yang anda miliki akan menghidupimu sebab hidup dan keselamatan manusia bukan karena kuasa manusia namun karena belas kasihan Tuhan dan sesamanya. Belas kasihan dan cinta menghidupkan orang, namun kuasa sering mematikan orang. Dengan membina cinta dan belas kasihan, anda bertumbuh menjadi orang baik, berilmu, cerdas, memiliki hati nurani dan semagat ketagwaan dan keugaharian. Sebagaimana kita hidup karena belas kasihan Tuhan dan sesama, marilah kita berjuang untuk memiliki dan selalu mempraktekkan belas kasihan tanpa pamrih.Hidup haruslah berdasarkan cinta dan belas kasihan dan beruntunglah kalau sebagai manusia anda dan saya memilikinya pada masa tua kelak....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline