Timor, pasca Proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945 oleh Soekarno-Hatta di Jakarta adalah satu dengan daerah lain di Indonesia. Tetapi tetap saja ada hal-hal menarik untuk dipelajari.
Dua pihak yang berkepentingan untuk kembali adalah pemerintah Hindia Belanda yang berada di Australia yang tinggal di barak-barak yang dibangun Australia dan tentara sekutu.
Hanya sekutu yang merasa lebih berhak untuk datang ke Timor agar dapat melucuti tentara Jepang. Pimpinan atas kota Kupang diberikan kepada 3 orang, yaitu: Dr. Gabeler, Tom Pello dan I.H. Doko.
Pada tanggal 11 September 1945, pasukan Belanda tiba di Kupang. Pasukan itu berjumlah besar dengan 37 perwira. Mereka menawan 3 orang yang dituduh sebagai kolaborator Jepang. Di Australia, pasukan ini tinggal di Brisbane, mereka tiba di Kupang melalui Darwin.
Australia dan sekutu membentuk unit pasukan khusus untuk tugas di Timor yaitu Timor Force. Satu batalion Timor Force tiba di Kupang. Kesatuan ini akan ditambah dengan unit-unit tawanan perang Jepang yang kemudian dipersenjatai, mereka terdiri atas pasukan KNIL dan orang-orang Eropa. Jumlahnya besar yaitu mencapai 70.000. Kebanyakan tawanan perang Jepang tinggal di Jawa dan Sumatera.
Timor Force memastikan kondisi keamanan di Timor. Beberapa hari kemudian tiba juga pasukan NICA dipimpin oleh Kolonel C.C. de Rooy. Pasukan NICA memerintahkan agar para pegawai pribumi kembali bekerja.
NICA menempatkan Residen C.W. Schuller. Pasukan sekutu menduduki Flores, NICA menduduki Sumba dan Australia di Timor.
Sejalan dengan pendudukan itu, gerakan pro RI semakin kuat. Di Timor, gerakan melawan pasukan NICA paling pertama adalah organisasi politik Islam di Sumbawa. Tetapi NICA mampu mengatasinya dan orang-orang yang melawan Belanda akhirnya beralih untuk mengurusi urusan sosial, seperti pendidikan, membasmi buta huruf dan ceramah-ceramah agama.
Belanda berpendapat bahwa daerah-daerah kristen seperti Timor, tidak ada masalah berarti dalam hal dukungan terhadap mereka.
Tetapi setelah Konferensi Malino, gerakan pro RI kuat. Hampir semua pegawai pribumi yang digaji Belanda mendukung RI.
Pada 22 Desember 1946, sekitar 500 orang berkumpul di Kupang. Mereka menolak Perjanjian Linggarjati dan menyatakan bersatu dengan RI dan mempertahankan kemerdekaan 100%.